Untuk
menyeselesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah agama, dan
persoalan-persoalan yang lainnya, diperlukan dalil-dalal yang kuat agar tidak
menjadi masalah dalam penyelesaiannya. Dalil-dalil tersebut digunakan sebagai
rujukan agar tidak salah dalam memutuskan. Sama halnya dalam beribadah, kita
harus punya dasar yang kuat agar cara ibadah kita tidak menyeleweng atau
menyimpang dari apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Umat islam mempunyai pegangan/pedoman hidup berupa kitab suci Al
Qur’an. Kitab suci ini menjadi pegangan hidup bagi umat islam dalam setiap
kegiatannya, baik yang berupa ibadah (hubungan dirinya dengan Tuhan) ataupun
muamalah (hungan antar sesame manusia) serta kepada alam sekitar. Namun ada
beberapa ayat didalam Al Qur’an yang memiliki tafsir yang maknanya luas.
Makna-makna tersebut dijelaskan oleh hadist (salah satu fungsi hadist). Dan
hadist ini pula yang menjadi dalil qath’iy setelah Al Qur’an, disusul oleh
ijma’ dan qiyas.
1.
Ulumul Hadist & Ruang Lingkupnya
A.
Pengertian Ulumul Hadist
Kata
ulum al-Hadist berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata ulum dan al-Hadist.
Kata ulum merupakan bentuk jamak dari “ilmu” yang secara etimologis berarti
ilmu-ilmu.
Menurut Manna’ al-Qaththan, ‘Ulûm merupakan bentuk jama dari ‘Ilmu yang
berarti al -fahmu wa al-Idrâk berarti faham dan menguasai. Kemudian arti
kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun secara
ilmiah.
Sedangkan
Hadist menurut bahasa berarti al-jadid (yang baru), lalu dijamakkan menjadi “ahadist”.
Menurut istilah al-Hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik
yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan/diamnya), atau sifat tertentu.
Ilmu
Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah).
Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
1.
Ilmu Hadist Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari akar kata kerja (fi’il) rowa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql/memindahkan dan penukilan, adz-dzikr yang berarti penyebutan,
dan al-fath yang berarti pemintalan.
Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau
menyebutkan berita dari orang-orang tertentu kepada orang lain dengan
dipertimbangkan/dipintal kebenarannya terlebih dahulu.
2.
Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu
Hadist Dirayah, dari segi bahasa kata dirayah ini berasal dari kata dara, yadri, daryan,
dirayatan/dirayah, yang berarti pengetahuan. Jadi yang dibahas nantinya adalah dari segi pengetahuannya yakni
pengetahuan tentang hadist atau pengantar ilmu hadis.
B.
Perbedaan
hadist Nabi, Al Qur’an dan Hadist Qudsi Hadist Nabi
a.
Menurut
bahasa: al-Jadid (baru), bentuk jamaknya/pluralnya adalah ahadist,
bertentangan (tidak sama)dengan qiyas.
b.
Menurut
istilah: ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (diamnya/ketetapannya), maupun sifatnya Nabi SAW.
Al Qur’an
a.
Menurut
bahasa: berasal dari kata Qara a – Yaqrau – Qur’anan, berarti bacaan
a.
Menurut
istilah: Menurut Dr. Subhi as-Salih, Al Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
merupakan sebuah mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, di tulis
dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir, serta membacanya adalah
termasuk ibadah, maksudnya ialah sah ketika dibaca saat solat, sedangkan jika
solat lalu bacaan Al Qur’an digantikan dengan hadist qudsi, maka solatnya tidak
sah.
Hadist Qudsi
a.
Menurut
bahasa: al_Qudsiyu dinisbatkan pada kata Quds, yang berarti suci,
sebagaimana tertera dalam kamus. Hadist qudsy yaitu hadist yang dinisbatkan
kepada Zat Yang Maha Suci, Allah SWT
b.
Menurut
istilah : ialah hadist yang disampaikan kepada kita, dari Nabi Muhammad SAW
dengan sanad dari beliau sendiri kepada Rabb ‘Azza wa Jalla
Perbedannya antara lain:
b.
Al
Qur’an baik lafadz maupun maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan hadist
qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, akan tetapi lafadznya berasal dari Nabi
SAW.
c.
Membaca
Al Qur’an adalah ibadah, maksudnya sah ketika dibaca saat solat, sedangkan jika
solat lalu bacaan Al Qur’an digantikan dengan hadist qudsi, maka solatnya tidak
sah.
d.
Al
Qur’an itu disyaratkan sumbernya harus mutawatir, sedangkan hadist qudsi tidak
disyaratkan sumbernya harus mutawatir.
C.
Kehujjahan
Hadist
Yang
dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyatul hadits) adalah keadaan Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), posisinya dibawah
setelah Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.
Menurut pendapat Wahbah Az -Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami,
orang yang pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah
Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm. Kehujahan
hadits sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy
yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW.
Pemikiran Imam
Syafi’i tentang kehujjahan hadis dalam kitab Ar-Risālah dapat ditarik
kesimpulan menjadi beberapa point, Pertama, Hadis wajib dijadikan hujjah atau
dasar hukum (ad-Dalil asy-Syar’i) sama dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya
dalil-dalil syari’ah yang menunjukkannya. Kedua, al-Qur’an dan hadis sebagai
pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu dengan
yang lainya tidak dapat dipisahkan. Ketiga, al-Qur’an adalah pokok hukum
syari’at, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima penjelasan dari hadis.
Sebagai
tambahan kehujjahan hadist adalah sebagai berikut:
1.
Pertama, hadist-hadist yang timbul dari Nabi
dalam posisi dan kedudukannya sebagai Al Tabligh yang harus mengkomunikasikan
atau menyampaikan risalah Islam kepada umat.
2.
Kedua, hadist-hadist yang timbul dari Nabi
dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin, seperti mengutus tentara,
pengelola harta Negara, mengangkat hakim dan sebagainya.
3.
Ketiga, hadist yang timbul dari Nabi dalam
kedudukannya sebagai hakim, yaitu ketika Nabi menghukum dan menyelesaikan
persengketaan yang terjadi di kalangan umatnya.
Comments