Sejarah Lengkap Hukum Islam pada Masa Turki Usmani


Islam merupakan agama pembebasan yang lahir 16 abad yang lalu di jazirah arabia. pembebasan disini berarti pembebasan dari zaman jahiliyyah. Secara etimologi islam berasal dari kata salama yang artinya selamat atau juga bisa berarti menyerahkan diri. Sedangkan kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu hukm atau alhukm yang mengandung makna mencegah atau menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kedzoliman, mencegah penganiayaan, dan menolak bentuk kemafsadatan lainnya.
Istilah hukum dalam islam mempunyai dua pengertian, yaitu syari’at dan fiqih. Syari’at terdiri wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman tentang syari’at. Adapun yang menjadi sumber syari’at adalah Al-qur’an dan Sunnah, sedangkan fiqih bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu.
Syari’at dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, sedangkan secara terminologi adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam lingkungan hidupnya. Sedangkan kata fiqih secara etimologi artinya paham, pengertian dan pengetahuan. Fiqih secara terminologi adalah hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
Di dalam kepustakaan hukum islam berbahsa inggris, syari’at islam diterjemahkan dengan islamic law, sedangkan fiqih islam diterjemahkan dengan istilah islamic jurispudence. Adapun perbedaan antara syari’at dan fiqih dalam mempelajari hukum islam adalah sebagai berikut :
1.      Syari’at adalah wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fiqih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman itu sendiri.
2.      Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas. Sedangkan fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada perbuatan hukum.
3.      Syari’at adalah ketetapan Allah dan Rosulnya oleh karena itu berlaku abadi, sedangkan fiqih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, melainkan dapat berubah dari masa ke masa dan karena perbedaan tempat.
4.      Syari’at hanya satu, sedangkan fiqih mungkin lebih dari satu. Terbukti dengan banyaknya madzhab.
5.      Syari’at menunjukkan kesatuan dalam islam, sedangkan fiqih menunjukkan adanya keberagaman (M.Daud Ali, 2001:45).
Islam merupakan agama hukum, dimana sumber hukum pertama dari hukum islam adalah Al-qur’an dan sunnah rasul. Disamping itu ada juga sumber hukum pelengkap, yaitu ijma’ dan qiyas.
Adapun yang menjadi tujuan dari adanya hukum islam pada prinsipnya adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu, dan sosial. Sedangkan menurut Abu Ishaq Al-shatibi (m.d 790/1388) terdapat lima tujuan hukum islam,yaitu untuk memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, (5) harta.[1]
Dalam menyelesaikan pertautan hukum islam dengan nilai-nilai pra islam dan hukum islam dengan perubahan sosial di dalam masyarakat sudah lama dilancarkan apa yang dinamakan gerakan pembaharuan (tajdid) baik untuk memurnikan hukum dan ajaran islam maupun mengembangkan hukum dan ajaran islam dan ajaran islam agar sesuai dengan kemajuan zaman. (Samsul Wahidin dan Abdur Rahman, 1984: 4-5).
Berbicara mengenai Hukum Islam, di sini kita akan fokus membahas tentang negara Turki khususnya pada masa Turki Usmani yang mana Turki merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sekitar 99,2 % dari penduduk yang berjumlah sekitar 50.207.000 jiwa dan sebagian besar bermukim di bagian utara Turki. Sedangkan bagian selatan Turki dikuasai oleh orang-orang Yunani yang beragama Kristen, namun belum mendapat pengakuan dari pemerintah dan selebihnya adalah Yahudi. Bahasa resminya adalah bahasa Turki dan sebagian berbahasa Kurdi, Arab, dan Yunani.[2]
Bangsa Turki tercatat dalam sejarah Islam dengan keberhasilannya mendirikan dua buah dinasti. Yaitu dinasti Turki Saljuk dan dinasti Turki Usmani. Dinasti Turki Usmani terbentuk setelah kehancuran dinasti Turki Saljuk oleh serangan pasukan Mongol.
Semula kerajaan Usmani hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, tetapi dengan dukungan militer yang kuat, tidak beberapa lama Usmani menjadi sebuah kerajaan besar.[3] Pada masa kejayaannya Turki Usmani banyak melakukan Tajdid atau pembaharuan terhadap Hukum Islam. Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat diikuti pula dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang kehidupan yang lain. Di antaranya adalah bidang keagamaan. Dalam makalah ini kita akan membahas tentang kemajuan Turki di bidang keagamaan khususnya tentang perkembangan hukum Islam.

Faktor pembentukan
Turki Usmani merupakan kerajaan yang paling lama bertahan dan paling luas wilayah kekuasaannya sepanjang milenium kedua. Dikatakan demikian, karena Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) ini dapat bertahan lebih dari enam ratus tahun (1281-1924 M)[4] dengan berbagai kelemahan dan kegemilangan yang dicapainya.
Selama lebih enam abad kekuasaannya, Turki Usmani telah berhasil mengembangkan kekuasaannya ke tiga benua, yakni benua Asia, Eropa dan Afrika. Di Asia, wilayah Usmani meliputi Armenia, Irak, Syria, Hijaz dan Yaman. Di Eropa, Usmani berhasil menguasai Bulgaria, Yunani, Albania, Yugoslavia, Hongaria dan Rumania. Sementara di Afrika, Usmani mengembangkan sayapnya hingga Libya, Mesir, Tunisia dan Aljazair.[5]
Kerajaan Turki Usmani yang sempat dipimpin oleh lebih kurang 36 sultan[6] telah menjadi ‘kerajaan raksasa’ (Imperium,Empire) yang memiliki andil yang pantas diperhitungkan dalam mempertebal lembaran buku sejarah Islam. Tulisan ini akan dikonsentrasikan pada pembicaraan Siyasah Syar’iyah yang dimulai dari zaman Sulaiman I, ‘the law giver’ atau ‘the Magnificent’ (1520-1566 M), terbatas padataqnin (kodifikasi dan legislasi), pengembangan sistem peradilan, pembaharuan hukum dan peralihan Khalifah ke Republik.
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama. Kerajaan Turki Usmani sendiri sangat terikat dengan syari’at sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat. Tanpa legitimasi mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.[7]
a.      Taqnin di Era Sulaimân al-Qanuni
Sulaiman al-Qanuni (yang berkuasa antara tahun 1520-1566 M) adalah sosok khalifah yang memiliki wibawa yang luar biasa di kalangan masyarakat Turki Usmani, karena produk perundang-undangan yang berhasil diundangkan di zamannya dan menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya. Secara garis besar, hukum pada masa Turki Usmani dapat dilihat dari dua era, yaitu masa sebelum tanzimat (1300–1839 M) dan masa pasca tanzimat (1839– 1924 M).Tanzimat adalah terma yang berasal dari bahasa Turki yang arti dasarnya adalah regulasi[8], yakni suatu periode reformasi sosial dan politik untuk mengubah kesultanan Turki Usmani dengan cara mengintegrasikan ke dalamnya lembaga-lembaga yang sengaja dijiplak dari Eropa Barat.Tanzimat di bidang hukum adalah upaya penggalakkan peraturan dan perundang-undangan dalam rangka pembaharuan hukum di Turki Usmani.
Sebelum masa tanzimat, hukum yang dipakai adalah hukum fiqih, hukum sultan, dan hukum qanûn. Hukum sultan adalah hukum yang ditetapkan oleh sultan yang disebut dengan hukum irâdah saniyah, sedangkan hukum qanûn adalah hukum yang diputuskan oleh rapat dewan menteri dengan persetujuan sultan. Irâdah saniyah berkaitan dengan perkara-perkara yang muncul dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sedangkan qanûn berkenaan dengan masalah administrasi negara dan soal-soal politik, seperti mengenai pemberontakan, pemalsuan uang dan pelanggaran hukum.
Hukum yang disebut qanûn ini berkembang dengan baik di Kerajaan Usmani. Puncak perkembangannya terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Sulaimân I (1520-1566 M).[9] Sungguh banyak qanûn yang dihasilkan dalam rentang waktu empat puluh dua tahun tersebut, sehingga khalifahnya sendiri, Sulaimân I sampai diberi gelar Sulaimânal-Qanûni.
Kitab qanûn yang ada ketika itu di antaranya mengatur sistem pajak warga di tingkat propinsi, mengatur masalah kriminal,qanûn yang menggiring hukum dan adat masyarakat di propinsi lain agar mengikuti kitab undang-undang peradilan Usmani. Selain itu, telah diatur pula qanûn tentang sistem promosi di pemerintahan, proses peradilan dan hal-hal lain yang terkait dengan keluarga para penguasa, bahkan qanûn yang terkait dengan keamanan negara.[10]
Dengan demikian, Sulaimân al-Qanûni boleh dikatakan sebagai pioner dari pembuatan qanûn sebagai sarana untuk menyelesaikan segala persoalan hukum yang ada ketika itu.

Proses Perkembangan dan Pengaruh Hukum Islam Pada Masa Turki Usmani
a.       Sebelum Tanzimat
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan sepritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.[11] Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banyak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau bepergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.[12] Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi.[13] Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini:
1. Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2. Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3. Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4. Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.[14]
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
b.      Masa Tanzimat
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama – yunazhzhimu -  tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[15] Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.[16] Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M).[17] Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).[18] Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan Agama ).[19] Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.[20]
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1.      Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2.      Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3.      Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqih yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqih baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual.[21]
Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M.[22] Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1.      Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2.      Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3.      Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.[23] Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan[24], serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama.[25] Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1856M[26] Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani,[27] sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
          Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan.[28] Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjual-belikan.

c.       Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah
Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini belum terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan suatu hal yang positif.[29] Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cenderung membawa turunnya semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab ini.[30] Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum. Panitia yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M panitia berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria.[31] Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1.   Muqaddimah, tentang defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
2.   Bab-bab Muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab.[32] Yaitu: 1) Jual beli, 2) Sewa menyewa, 3) Tanggungan, 4) Pemindahan utang atau piutang, 5) Gadai, 6) Titipan, 7) Hibah, 8) Rampasan, 9) Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa, 10) Serikat dagang, 11) Perwakilan, 12)  Perdamaian dan pembebasan hak, 13) Pengakuan, 14) Gugatan 15) Pembuktian dan sumpah, 16) Peradilan.[33]
Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata pertama yang diambil dari ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di samping pendapat lain dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya dalam majallah ini tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab selain Hanafi. Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi) dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman hukum dalam satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang mengakibatkan lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya ketelitian dalam memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan yang sudah baku dan adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara peristiwa kehidupan masyarakat senantiasa berubah.

d.      Tasyri’ Setelah Tanzimat
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:[34]
1.      Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2.      Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3.      Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4.      Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5.      Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.

Kebijakan Pemerintah Republik Turki terhadap Islam
a.      Kebijakan Mustafa Kemal
Mustafa Kemal melakukan usaha pengucilan Islam dari kehidupan kenegaraan di Turki. Usaha pengucilan ini dilakukan karena Mustafa Kemal berkeyakinan bahwa Islam merupakan penghalang kemajuan dan sumber terjadinya kejumudan. Lalu, beliau berusaha melakukan sekularisasi untuk mencapai kemajuan dan kemodern-an. Hal ini dapat dilihat dalam rentang waktu 1922–1930, beliau telah memisahkan urusan negara dan politik dari agama, yang berujung pada peresmian sekularisasi pada tahun 1937. Bahkan untuk memuluskan jalannya sekularisasi tersebut beliau membentuk tim khusus sebagai ‘Pengawal Sekularisasi’. Sekedar contoh dapat disebutkan antara lain pelarangan pemakaian tarbus dan diganti dengan topi ala Eropa mulai berlaku 25 November 1925, karena itu pemakaian kopiah dan sorban merupakan suatu tindakan kejahatan. Selanjutnya, pada bulan Desember 1925, penanggalan hijriyah (taqwim) diganti dengan penanggalan masehi.
Di samping itu juga, peran ulama dihilangkan dari kehidupan politik formal serta harta benda zakat danmahkamah syari‘ah dihapuskan, penerapan Majallah pun dihentikan pada tahun 1926 M. Hukum perkawinan Islam diganti dengan hukum Swiss dan hukum dagang dengan hukum Jerman. Sejak masa inilah, hukum Islam secara formal tidak berlaku lagi di Turki.
Sebenarnya, kebijakan para petinggi ini berseberangan dengan keinginan sebagian besar umat Islam Turki, dan tidak berarti tidak mendapat resistensi dari masyarakat. Hal ini terbukti tatkala beberapa tahun setelah Mustafa Kemal wafat tuntutan untuk menghidupkan kembali Islam terus bergulir. Esensi penting dari kehendak masyarakat adalah agar pemerintah perlu memperhatikan Islam secara lebih proporsional. 
Sesungguhnya, tuntutan di atas telah bergema sejak Mustafa Kemal masih hidup, tetapi beliau menggunakan tangan besi dalam menanggapinya sehingga banyak para ulama, pemikir serta masyarakat yang menjadi korban.
Secara bertahap namun pasti, Mustafa Kemal melakukan pembaharuan/ reformasi. Kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal diantaranya:
1.      Undang-undang tentang Unifikasi dan Sekulerisasi Pendidikan, tanggal 3 Maret 1924.
2.      Undang-undang tentang Kopiyah, tanggal 25 November 1925.
3.      Undang-undang tentang Pemberhentian Petugas Jamaah dan Makam, penghapusan Lembaga Pemakaman, tanggal 30 November 1925.
4.      Peraturan sipil tentang Perkawinan, tanggal 17 Februari 1926 (mengadopsi UU Perdata Swiss 1926)
5.      Undang-undang Penggunaan Huruf Latin untuk Abjad Turki dan Penghapusan tulisan Arab, tanggal 1 November 1928, dan
6.      Undang-undang Larangan Penggunaan Pakaian Asli, tanggal 13 Desember 1934.
Kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal yang lain adalah:
1.      Penghapusan Jabatan Kesultanan, tanggal 1 November 1922.
2.      Penghapusan Jabatan Khalifah 3 Maret 1924.
3.      Lembaga Wakaf dihapus dan dikuasakan kepada KUA.
4.      Memperkenalkan bangku gereja dan jam kamar ke dalam masjid, tahun 1928.
5.      Mengharuskan orang sholat menggunakan sepatu dan bahasa Turki.
6.      Meletakkan alat musik barat di dalam masjid serta digunakan sebagai iringan sholat.
7.      Seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada pola nama barat, tahun 1935.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
b.   Kebijakan Sulaiman Al-Qanuni
Adapun kebijakan yang dilakukan oleh Sulaiman Al-Qanuni dalam bidang agama dan hukum adalah :
1.      Memberikan toleransi kehidupan keagamaan bagi seluruh masyarakatnya yang terdiri dari orang muslim dan non-muslim.
2.      Menciptakan rasa aman dan damai di antara masyarakatnya.
3.      Membuat kitab undang-undang dan menjadi pedoman bagi seluruh masyarakatnya.[35]

Karakteristik
Dalam bidang keagamaan, pemerintahan Turki Usmani berpegang teguh Kepada syariat islam, sehingga fatwa ulama menjadi sesuatu yang sangat urgen dalam menjawab problematika keagamaan umat. Menurut Eisenstadt, agama memainkan peran penting dalam memelihara stabilitas dan kontinuitas kebanyakan pemerintah birokratis historis. Organisasi keagamaan merupakan salah satu penghubung antara pemerintah dan masyarakat. [36]
Kehidupan beragama merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial politik Turki Usmani. Pihak penguasa sangat terikat dengan syari’at islam, ulama mempunyai kedudukan yang tinggi di mata pemerintahan dan masyarakat. Sebagai pejabat tinggi agama, mufti berfungsi sebagai pemberi fatwa terhadap problematika yang dihadapi agama. Tanpa legalitas Mufti, keputusan hukum pemerintahan tidak bisa berjalan.[37] Kegiatan tarekat berkembang pesat, di antara tarekat yang berkembang, ada dua aliran tarekat yang dapat digolongkan cukup besar, yaitu tarekat Bektasi dan tarekat al-Maulawi. Tarekat Bektasi sangat berpengaruh terhadap pasukan janisari, sementara tarekat al-maulawi berpengaruh besar terhadap para penguasa sebagai penyeimbang dari kelompok Janisari Bektasi.[38] Peran ulama dalam pemerintahan Utsmani cukup strategis, seperti pada masa pemerintahan Utsman 1. Ulama mempunyai kedudukan sebagai penasehat, baik yang berkenan dengan ketatanegaraan, maupun implementasi syariah, bahkan pengendalian kekuasaan.[39] Adapun masalah kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadist boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa lebih cenderung menegakkan satu paham (madzhab sunni) keagamaan dan menekan madzhab lain. [40]
Dalam bidang politik pemerintahan, menurut pandangan islam, Sultan berperan sebagai pelaksana hukum islam (syari’ah). Sebuah pemerintahan yang dikelilingi kekuatan militer, dipandang sah selama ia tetap menghormati syari’ah dan menghargai komunitas muslim. Meskipun demikian, dalam syari’ah tidak semua aspek kehidupan sosial dan politik Turki Usmani terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menertibkan antara aristokrasi Turki Usmani dan warga negara dan untuk memastikan status, tugas dan ketentuan hukum masing-masing, maka sultan diberi kewenangan menetapkan hukum. Beberapa ketetapan itu dikumpulkan dalam sebuah kitab hukum yang disebut Qanun. [41]
Undang-undang itu dijadikan sebagai asas bagi pemerintahannya dan terbagi menjadi 3 bab, yaitu tentang posisi pejabat, tradisi-tradisi yang wajib dilakukan dalam menyambut perayaannya, seperti perayaan-perayaan kesultanan. Selain itu, dalam undang-undang itu terdapat juga tentang hukum dan denda. Dalam undang-undang disebutkan ditetapkan bahwa pemerintahan Turki Usmani merupakan pemerintahan islam yang menempatkan posisi umat islam sebagai bagian penting negara dengan tidak membedakan ras dan asal mereka.[42]
Urgensi
Pembentukan hukum islam yang tejadi pada masa turki usmani ditetapkan karena mengetahui latar belakang yang sangat penting. Diantara kegunaan mempelajari hukum islam pada masa turki usmani agar dapat melahirkan sikap toleran dan untuk mewarisi pemikiran ulama klasik dan juga pengembangan gagasannya. Misalnya fiqh, dan ijtihad ulama turki baik individu maupun kolektif dalam pemerintahan sesuai al- quran dan hadits.
1.      Melalui kajian sejarah hukum islam pada masa turki usmani kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat islam yang berlaku pada masa itu.
2.      Melalui kajian Sejarah hukum islam pada masa turki usmani kita dapat mengetahui kesempurnaan dan integralitas ajaran islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat pada masa turki usmani yang agung terutama pada masa kejayaan turki. Bahwa penerapan syariat islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan, ekonomi, aqidah akhlaq, sosial, sanksi hukum dan aspek-aspek lainnya.


SUMBER
Adnan Amal Taufiq, (1993), Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum.  Fazlur Rahman, Mizan: Bandung.
Ali, K. Sejarah Islam. Jakarta: Raja Grafiindo Persada, 1956.
Anderson, J. N. D. Islamic Law in the Moderen World. diterjemahkan oleh Mahmud Husain dengan judul Hukum Islam di Dunia Moderen. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
al-Qaththan Manna’, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, Maktabah al-Ma’arif, t.t: Riyad
Bosworth, C.E, (1980), Dinasti-dinasti Islam, Mizan: Bandung
Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1991),Cet. I; Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka,
Goldscmidt, Athur, A Concise History of the Midle Sast, Edisi ke-4, (1991), USA: Westview Press,
Gunawan Adi, Kamus Praktis Ilmiah Popular, Surabaya: Penerbit Kartika, t.t
Haidar Ali, Dar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t
Hanafi  Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (1989), Cet. V; Jakarta: PT. Bulan Bintang,
Hourani Albert, dkk, (ed), The Midle East, (1993),  California: The University of California Press,
Ibn Ali Duraib Su’ud, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (1983), Riyadh: Maktab al-Wazir,
Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Abdurrahman, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t.
Ibn Subhi Mahsani Muhammad, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (1981), Bandung: PT al-Ma’arif,
K. Hitti, Philip, History of the Arabs, (1974), London: The Mac Millan Press,
Ma’luf Lois, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq.
Mughni, Syafiq A. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Cet. I ,(1997)  Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (1985), Jakarta: UI Press, Jilid I,
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (1996), Jakarta: Bulan Bintang,Ridwan Kafrawi (ed)
Salam Madkhur Muhammad, al-Qadha fi al-Islam, Kairo: Dar al-Nadhah, t.t
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (1988), Jakarta: Kalam Mulia,
Syatanawiy, Ahmad, Dirasah al-Ma’aruf al- Islami, Kairo: Al-Syu’b t.t
Rasyid, Daud. Islam dalam Berbagai Dimensi. Cet. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999,




[1] Prof. Dr. Abddul Ghofur Anshori, S.H.,M.H, Yulkarnain Harahab, S.H.,M.Si, Hukum Islam Dinamika dan perkembangannya di Indonesia (Kreasi Total Media, yogyakarta 2008) hlm. 1-3
[2] Lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia (Cet. I; Jakarta; PT. Cipta Adi Pustaka, 1991), h. 504-509.
[3] Lihat K. Ali, Sejarah Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1956), h. 364.
[4] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Society (Cambridge : Cambridge University Press, 1993), h.307.
[5] Ibid., h. 308-311
[6] Philip K. Hitti, History of the Arabs (London : The Macmillan Press Ltd. , 1974), h.713.
[7] Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999) hlm. 137
[8] John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. IV (New York : Oxford University Press,1995), h.183
[9] Stanford J. Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, vol I (Cambridge : Cambridge University Press, 2000), h. 87.
[10] Albert Hourani, A History of the Arab People (New York : A Time Warner Company, 1992), h.225.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 92.
[12] Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298.
[13] Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983), h. 278.
[14] Ibid., h. 299-384.
[15] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq), h. 818
[16] Kafrawi Ridwan (ed), Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994), h. 113.
[17] Arthur, ibid., h. 156.
[18] Tasyri’ Madani, pada masa selanjutnya membawa kepada adanya hukum sekuler, Harun Nasution, op.cit., h. 93 .
[19] Abdurrahman, loc.cit
[20] Tokoh yang muncul pada masa tanzimat dominan memiliki latar belakang pemikiran Barat, diantaranya, Musytafa Rasyid Pasya (1800-1858 M). Ia mengemukakan kemajuan Turki Usmani harus diupayakan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti orang-orang Eropa. Mahmud Sadik Pasya (1807-1856M) ia mengemukakan kesewenangan pemerintah akan menimbulkan permusuhan di kalangan rakyat. Untuk itu harus dihapuskan. Mustafa Sawi melontarkan ide yang sama dengan Mustaf Rasyid Pasya namun ia menambahkan disamping ilmu-ilmu teknologi harus ada toleransi beragama, adanya kesinambungan budaya lama dan budaya baru serta ada pendidikan pria dan wanita, Ali Pasya dan Fuad Pasya, kedua tokoh ini memunculkan ide dalam hukum yaitu Piagam Humayun, Lihat Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga Ensiklopedi Islam, loc.cit.
[21] Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993), h. 107-110.
[22] Albert Hourani, dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California Press, 1993), h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit.
[23] Harun Nasution, op.cit., h. 99-100.
[24] Albert, op.cit., h. 63.
[25] Albert, op.cit., h. 352. Lihat Harun Nasution, op.cit., h. 101
[26] Bertepatan dengan tanggal 28 Zulhijjah 1273 H. Abdurrahman, loc.cit.
[27] Piagam Humayun dikeluarkan atas desakan negara-negara Eropa pada Kerajaan Turki Usmani yang pada waktu itu dalam keadaan lemah dan selalu mengalami kekalahan dalam peperangan. Negara Eropa menjamin keutuhan Kerajaan Turki Usmani kalau mereka diberi hak yang sama dengan orang Islam.
[28] Duraib, op.cit. h. 384
[29] Abdurrahman, op.cit. h. 302. Muhammad Salam Madkhur, al-Qadha fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nadhah, t.t), h. 115.
[30] Abdurrahman, loc.cit. Salam Madkhur, op.cit., h. 116.
[31] Manna’ al-Qaththan, Tarikh al-Tasyrik al-Islamy, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, t.t), h. 404.
[32] Ali Haidar, Dar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, (Beirut: Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t). h. 13-17.
[33] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hhukum Islam (Cet. V; Jakarta: PT. BUlan Bintang, 1989), h.219
[34] Duraib, op.cit. h. 284.
[35] Sucipto, Sulaiman Al-Qanuni 1520-1566 M “Kajian Tentang Kebijakan dan Pengaruh Terhadap Pemerintahan Turki Usmani”, skripsi UIN SUKA h. 76
[36] Binnaz Toprak, Islam dan perkembangan Politik di Turki, terj oleh Karsidi Diningrat (yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1999). Hlm. 15.
[37] Philip K. Hitti, History of the arabs, terj: R Cecep Lukman Yasin dkk (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm.714.
[38] K, Ali, Sejarah Islam, hlm. 556-557. Lihat juga dalam buku karya Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hlm. 137
[39] Ali M. Ash-Shalabi, Bangkit, hlm. 50.
[40] Badri yatim, Sejarah Peradaban, hlm.137
[41] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial, hlm 492.
[42] Albert Hourani, Sejarah Bangsa, hlm 4

Comments