a.
Periode
Nabi SAW
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yaitu
umat Islam dapat secara langsung memperoleh atau mendapatkan hadist dari
Rasulullah SAW, sebagai sumber hadist. Antara Rasulullah dengan mereka tidak
ada jarak atau hijab yang menghambat dan mempersulit pertemuannya.
Kedudukan
Nabi SAW menjadaikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi
para sahabat, dan para sahabat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka
secara proaktif berguru dan bertanya kepada Nabi SAW tentang segala sesuatu
yang tidak diketahui para sohabat baik dalam urusan dunia maupun urusan
akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan
agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Ada
beberapa cara Rasulullah SAW. dalam menyampaikan hadist kepadaa para sahabat,
yaitu:
1. Melalui para jema’ah pada pusat pembinaannya
yang disebut dengaan majelis al-‘ ilmi.
2. Dalaam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga
menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepadaa orang lain.
3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka,
seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.
b.
Periode
Sahabat
Periode sahabat
berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengaan masa
sahabat besar dan juga terkenal dengan sebutan “zamanut tastabbuti wal
iqlali minarriwayah ( زمن التثبت والاقلال من
الرواية )” yaitu masa
pengokohan dan penyederhanaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadist belum
dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadist masih tetap di
hafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan mengganggu
perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an, lantaran keterbatasan tenaga dan
sarana juga.
Oleh karena itu, Abu Bakar As Shidieq sebagai
kalifah pertama, mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan sahabat menulis
hadist, bahkan beliau memerintahkan untukk membakar 500 hadist yang telah di
catatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran
perhatian para sahabat terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu
niat Umar bin Khattab untukk membuat program penulisan hadist dibatalkan,
apalagi mayoritas Sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.
Sekalipun demikian, penulisan hadist tetap saja
di lakukan oleh sahabat, diantaranya ialah Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan
Aisyah, serta yang lainnya. Karakter yang menonjol dari periode ini ialah
kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara
memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalaam satu mushaf, sehingga setelah terkumpul
barulah mereka menulis hadist.
c.
Periode
Tabi’in
Padaa masa ini tidak jauh berbeda
dengan masa sebelumnya, hanya saja persoalan yang dihadapi sedikit berbeda,
sebab pada masa ini al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf, sedang para
riwayat hadist dari kalangan sahabat sudah tersebar diberbagai daerah, apalagi
setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh
‘Umar bin Abdul ‘Aziz terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadist secara resmi.Yang
melatarbelakngi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasi hadist padaa waktu itu antara lain:
1.
Banyak penghafal hadist yangg meninggal dunia,
baik karena sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.
2.
Al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam
masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi hadist bercampur dengaan al-Qur’an.
3.
Islam telah mulai melebarkan syi’ar nya
melampaui jazirah Arab, maka hadist sangat diperlukan sebagai penjelas
al-Qur’an.
Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengaan
sebutan masa pembukuan (‘ashr al-tadawin / عصر
التدوين ) sehingga pada abad 2
H ini, tersusunlah qitab-qitab koleksi hadist.
Diantara
tokoh-tokoh tabi’in yang termashur dalam bidang riwayat antara lain Sa’id,
Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn Habib.
d.
Periode tabiut tabi’in
Tabi'ut Tabi'in
adalah di antara tiga kurun generasi terbaik dalam sejarah Islam, setelah
Tabi'in dan Shahabat. Tabi'ut Tabi'in disebut juga murid Tabi'in. Menurut
banyak literatur Hadis : Tabi'ut Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang pernah
bertemu atau berguru pada Tabi'in dan sampai wafatnya beragama Islam. Dan ada
juga yang menulis bahwa Tabi'in yang ditemui harus masih dalam keadaan sehat
ingatannya. Karena Tabi'in yang terakhir wafat sekitar 110-120 Hijriah
·
Kodifikasi
Hadist
Dalam fakta
sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadist secara resmi yang
diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar
bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para
sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah
sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in wilayah
islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama
untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran
hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri,
sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut
sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin
al-hadits tentunya, berbeda dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.
Tadwin
al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan
dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari
lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu
sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi SAW terhadap sabda,
perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal/sifat Nabi SAW kemudian disaksikan oleh
sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara
lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan
tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi saja. Sedangkan
perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis
adalah sebagai berikut:
1.
Kodifikasi
hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui
masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2.
Kegiatan
kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan
mendokumentasikannya.
3.
Tadwin
hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap
berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang
tertentu.
Secara resmi
berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli
dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah
ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui
instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan
para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para
penghafalnya.
Khalifah
menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan
hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat 98H) murid
kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H).
Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri
(wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis
dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat
mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya peranan
al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia,
di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang.
Beberapa pokok
mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini.
Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di
medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang
shahih dengan hadis-hadis yang palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya
daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan
yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Comments