Pengertian terhadap istilah hak
ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan-kawan dalam bukunya Hukum
Tanah, Jaminan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, menyatakan bahwa; “Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang
dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan
tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa,
suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak
untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan
(kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”.
Hak Ulayat merupakan serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan
di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang
hukum perdata dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan
kewajiban dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan
atas tanah tersebut. Sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan
untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan,
penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya ada pada Kepala Adat/Tetua Adat.
Hak Ulayat merupakan hak masyarakat
atau hak persekutuan adat dan dengan demikian hak ulayat ini merupakan hak
komunal masyarakat/persekutuan adat. Persekutuan adat mempunyai hak menguasai
tanah dan pohon-pohon yang ada dalam wilayah persekutuan untuk digunakan warga
persekutuan (beschiking kring). Hak ulayat adalah hak pertuanan atau hak
persekutuan adat yang menegaskan wewenang dari persekutuan untuk menguasai
tanah dalam wilayah persekutuan. Hak ulayat dapat berbentuk sebagai berikut:
a. Hak Milik
Hak ini
terjadi apabila seorang warga persekutuan mempunyai hubungan dengan sebidang
tanah pertanian atau pekarangan dengan cara membuka hutan, member tanda-tanda,
dan selanjutnya menanami secara terus-menerus tidak terhenti, kemudian akan
menjadi hak miliknya. Cara memperoleh hak atas tanah dalam hukum adat ini
diakui oleh hukum agraria nasional yang tertuang dalam UU (UUPA) NO. 5 tahun
1960 pasal 22.
b. Hak memungut hasil
Hak ini
terjadi apabila seorang warga persekutuan mempunyai hubungan dengan tanah pertanian,
tetapi hanya satu kali masa tanam (hak menikmati). Hak ini biasanya dipegang
atau diberikan kepada seseorang yang bukan anggota persekutuan, yang telah
memperoleh izin kepala adat sebagai kepala persekutuan. Hak-hak itu dapat
menjadi hak perorangan. Lama-kelamaan hak ulayat ini makin hapus karena makin
kuatnya hak perorangan, terutama hak milik dengan perolehan secara adat
tersebut diatas.
Kedudukan tanah dalam hukum adat
Ada
2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
hukum Adat, yaitu:
a) Karena Sifatnya:
Yakni merupakan satu-satunya
benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh
masih bersifat tetap dalam keadaannya bahkan kadang-kadang malahan menjadi
lebih menguntungkan.
Contohnya: sebidang tanah
itu di bakar diatasnya di jatuhkan bom-bom misalnya, tanah tersebut tidak
lenyap setelah api padam ataupun setelah pemboman selesai sebidang tanah
tersebut akan muncul kembali tetap berujud tanah seperti semula.
b) Karena fakta:
Yaitu
suatu kenyataan bahwa tanah itu: Merupakan tempat tinggal persekutuan.
Memberikan penghidupan kepada persekutuan. Merupakan tempat di mana para warga
persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan. Merupakan pula tempat tinggal kepada
dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Kedudukan
Hak Ulayat Masyarakat Adat Dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)
1. Pengaturan hak ulayat masyarakat Adat dalam
UUPA
Hukum
tanah yang berlaku bagi masyarakat Indonesia secara umum adalah hukum tanah
yang masih berpedoman pada hukum adat masing-masing suku yang berdiam diseluruh
wilayah nusantara, yang lazim disebut dengan istilah hak ulayat. Hak ulayat
merupakan istilah yang diperkenalkan dalam kepustakaan hukum adat dengan
sebutan dan atau nama yang berbeda dalam setiap wilayah hukum adat, dan
merupakan hak penguasaan tertinggi dalam suatu wilayah hukum adat sebab
merupakan tanah bersama warga masyarakat adat tertentu.
Pengertian
hak ulayat sendiri tidak ditemukan dalam UUPA, bahkan kata hak ulayat hanya di
kemukakan dalam pasal 3 dinyatakan;
Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal
1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pada
jaman Kolonial Belanda hukum tanah yang berlaku adalah hukum tanah kolonial
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bagi
golongan Eropa dan hukum Adat bagi golongan Pribumi (Indonesia asli). Kedua
hukum yang berlaku dan mengatur masalah pertanahan mempunyai karakterstik yang
sangat berbeda. Dimana hokum tanah kolonial sebagaimana diatur dalam buku II
KUH Perdata memberikan jaminan dan kepastian hukum sebab merupakan hukum yang
tertulis, dilain pihak hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak
memberikan jaminan dan kepastian hukum sebab bukan merupakan hukum tertulis,
sedang hukum adat sebagai hukum masyarakat pribumi mengatur bagian terbesar
hukum tanah di Indonesia pada saat itu.
Setelah
merdeka hukum tanah yang berlaku masih merupakan warisan kolonial, namun
perubahan fundamental terjadi setelah di undangkan-nya UUPA karena terjadi
perombakan secara mendasar hukum tanah yang berlaku. Pemberlakuan UUPA yang
mengatur pertanahan telah mengganti hukum tanah kolonial menjadi hukum Nasional
yang berlaku bagi seluruh golongan masyarakat, sehingga sesuai dengan jiwa dan
kepentingan rakyat Indonesia. Sebagaimana dinyatakan Budi Harsono;
“Perubahan
itu bersifat mendasar dan fundamental, karena baik mengenai struktur perangkat
hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan
dalam bagian berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman.”
Hak-hak tanah dalam hukum adat
Konsepsi
hak ulayat menurut hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis
yang memberi peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang
bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga
dapat dikatakan hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak
bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius
menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama, yang
diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan
nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur
terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang
kehidupan itu berlangsung. Jika dilihat dari sistem hukum tanah adat tersebut,
maka hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar. Kedalam
berhubungan dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku keluar dalam
hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang
asing atau orang luar”. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak
ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota
masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai
penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib
menyelesaikan. Sedangkan untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar
hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan. Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan,
berburu atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu
masyarakat hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.
Hak milik atas tanah dalam hukum adat
Persoalan hak atas
tanah merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji, dan hasil kajian
tahun 1867, bahwa pemilikan dan penguasaan individu atas atas tanah tidak ada
di Jawa adalah keliru. Kekeliruan hasil penelitian tersebut, menurut Robert Van
Niel bahwa pola kepemilikan hak atas tanah terjadi kekeliruan penafsiran
semiantik antara istilah Belanda dan Jawa sebagai berikut:
A.
Kata bezit dalam bahasa Belanda yang digunakan secara luas untuk
menggambarkan hak atas tanah dapat berarti: penguasaan (possession), pemilikan
(ownership), penggunaan (tenure). Arti beraneka ragam itu dimungkinkan
mengingat hakikat hukum perundang-undangan Belanda membuktikan hampir setiap
hal yang dikehendaki atau tidak sama sekali.
B.
Kata yasa sebuah istilah yang lazim dipakai dalam bahasa Jawa
mengacu kepada hak-hak penanam atas tanah yang baru dibuka (hak kepemilikan
individu), diartikan sebagai kepemilikan tanah. Istilah itu sebenarnya mengacu
kepada pemanfaatan tanah yang akan mendapat imbalan tertentu bukan merujuk kepada
kepemilikan tanah yang ada dalam pengertian Jawa adalah pemilik penguasa.
Hak atas tanah di
Jawa kembali mengalami perdebatan pada abad ke-20, ketika van vollenhoven
mengemukakan pandangannya tentang hak atas tanah yang didasarkan kepada
kekerabatan, suku dan desa diseluruh kepulauan Hindia Timur mempunyai hak
pembagian asli yang dimasukkan kedalam istilah hukum yaitu beschikkiingrecht.
Hak-hak tersebut merupakan hak warga desa yang disampingi menjadi tidak bias
dialihkan secara permanen. Selain di Pulau Jawa hak pembagian komunal desa
perlahan-lahan menghilang dan berubah menjadi kepemilikan oriental. Sebelum
berdirinya kerajaan-kerajaan dan datangnya bangsa Barat di Pulau Jawa, telah
dikenal kepemilikan oriental yaitu hak seorang petani dan keluarganya untuk
menguasai, menggunakan sebidang tanah, dan ikut menikmati keuntungan dan
keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan masyarakat desa. Sebenarnya, hak yasa
yang dikenal dalam masyarakat Jawa yang merupakan konsep hak individu atas
tanah, yangboleh raja-raja dan pemerintahan Hindia Belanda tidak diakui sebagai
jak milik individual atas tanah, hanya diakui sebagai individueel bezitrecht
dalam siklus beschikkingrecht (ulayat desa).Hubungan kehidupan antara umat
manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain di satu pihak, dan
tanah di lain pihak, dalam tradisi sejarah tradisi suku bangsa di Indonesia
dikenal dengan bentuk hubungan yang serba berpasangan. Ter Haar menyebutnya
dengan istilah participarend denken dana dalam hukum adat asli suku bangsa,
hubungan semacam itu memunculkan hubungan pertalian hukum, Ter Haar menyebutnya
dengan istilah rechats betrekking. Substansi hubunga tersebut, dinyatakan dalam
beberapa prinsip sebagai cermin kehidupan sebagai barikut:
1. Tanah
tempat mereka berdiam.
2. Tanah
yang memberikan mereka makan.
3. Tanah
tempat mereka dimakamkan.
4. Tanah
tempat kediaman makhluk halus sebagai pelindung mereka beserta arwah
leluhurnya.
5. Tanah
tempat meresap daya-daya hidup.
Prinsip-prinsip
tersebut di atas telah menjadi budaya dan berurat berakar dalam kehidupan
masyarakat adat. Dalam tatanan masyarakat asli, ada yang berdiam pada suatu
pusat tempat kediaman disebut sebagai dorpsgemeenschap (dusun) dan ada yang
berdiam menyebar dalam kelompok-kelompok kecil di suatu pusat wilayah pusat
kediaman disebut streekgemeenschap. Dari kedua pola kediaman tersebut
merupakan dasar pembentukan hubungan antara masyarakat yang mendiami
wilayahnya, baik secara perorangan maupun hubungan komunal. Hak perorangan dan
kelompok dalam wilayah masyarakat adat tersebut, dalam perkembangannya menjadi
3 jenis hak, yaitu:
1. Hak pakai asli
perorangan
2. Hak komunal masyarakat adat
3. Hak pertuanan.
2. Hak komunal masyarakat adat
3. Hak pertuanan.
Hak tanah (ulayat)
dalam perundang-undangan
Hak
Tanah dalam Perundang-undangan
1. Konsepsi
Hukum Tanah Nasional Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Dalam konsiderans Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), Hukum Tanah Nasional yang akan dibangun didasarkan pada
hukum adat dalam pengertian hukum adat yang telah di “seneer”, maka harus
diartikan bahwa norma-norma hukum adat yang telah dibersihkan dari unsur-unsur
pengaruh asing dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih hidup dan
mengikat masyarakat. Konsiderans tersebut menunjukkan, bahwa hukum adat
merupakan sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional. Hal tersebut
dapat dilihat dari rumusan konsiderans undang-undang:
Kominalistik
religius yang memungkinkan penguasa tanah secara individual dengan hal-hal atas
tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan. ((Budi Harsono,
1999;225)
Sifat
komunalistik religious yang bersumber dari hukum adat sebagai salah satuciri
yang tertuang dalam konsepsi hukum tanah nasional juga ditunjukkan dalam pasal
1 ayat (2) undang-undang pokok agraria (UUPA). Tanah ulayat sebgai salah satu wujud
hak yang bersumber dari hukum adat merupakan tanah bersama para warga masyarakat
hukum adat yang kemudian dalam konsepsi hukum tanah nasional dikembangkan bahwa
semua tanah dalam wilayah negara menjadi tanah bersama seluruh rakyat Indonesia
yang bersatu menjadi bangsa Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pernyataan tersebut menunjukkan, sifat komunalistik
konsepsi hukum tanah nasional, sedangkan unsur religious konsepsi ditunjukkan dalam
pernyataan rumusan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam
konsepsi hukum adat, sifat keagamaan hak ulayat masih belum jelas karena rumusan
norma tanah ulayat sebagai tanah bersama adalah peninggalan nenek moyang atau sebagai
karunia sesuatu kekayaan yang ghoib, namun apabila konsepsi hukum tanah nasional
berkaitan dengan sila ketuhanan yang maha esa (sila ke1) maka sifat religiousnya
menjadi jelas. Konsepsi hukum tanah nasional demngan mengacu untuk mengembangkan
pengertian yang bersumber dari hak ulayat sebagai mana dalam pasal 1 ayat (2),
serta memperhatikan rumusan pasal 1 ayat (1) UUPA mengakui dan menempatkan hak bangsa
sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi seluruh wilayah Indonesia. Hal
ini berarti hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak
individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum secara langsung
atau tidak langsung semuanya bersumber pada hak bangsa.
Pengertian
hak bangsa meliputi semua tanah dalam rumusan pasal 1 ayat (2) UUPA dengan kata
“seluruh” berarti seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
Indonesia yang menunjukan bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di Indonesia yang
merupakan tanah yang tidakbertuan.
Hak
bangsa tersebut bersifat abadi, yang berarti bahwa hubungan akan berlangsung tidak
terputus-putus selama-lamanya. Pernyataan tersebut sebagimana dirumuskan di dalam
pasal 1 ayat (3) UUPA bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air seta
ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifa tabadi.
Rumusan tersebut dipertegas dalam pernyataan umum 2 disertai penjelasan.
Hubungan
hukum yang menyangkut pertanahan dalam uud 1945 dirumuskan dalam istilah
“dikuasai” dapat dinyatakan secara normative sebagai hubungan bersifat hukum publik
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA memuat rincian kewenangan hak
menguasai negara, berupa kegiatan:
a) Mengatur
dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa
b) Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang
angkasa
c) Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orng-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa
Rincian kewenangan
mengatur menetukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam pasal 2 UUPA
dapat dianggap kepastian hukum interpretasi autentik mengenai hak menguasai negara
yang dimaksudkan oleh uud 1945 sebagai hukum yang bersifat publik semata-mata.
Dengan demikian tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam
pasal uud 1945.
Dalam konsepsi hukum
tanah nasional, di samping diakui hak perorangan atas tanah bersifat pribadi,
hak-hak individual juga diakui unsur kebersamaan atas hak-hak tanah. Sifat pribadi
hak-hak individual dimaksudkan untuk menuju kewenangan pemegang hak untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 9 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa:
tiap-tiap waraga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan
hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Hak-hak atas tanah
yang langsung bersumber pada hak bangsa yang disebut hal-hak primer, meliputi:
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang di berikan oleh
negara sebagai petugas halaman, sementara hak-hak yang bersumber tidak langsung
dari hak bangsa adalah apa yang disebut hak-hak sekunder, meliputi: hak-hak
yang diberikan oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, bagi hasil, gadai dan
lain-lainnya.
Sifat pribadi hak-hakatas
tanah yang sekaligus mengundang unsur kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut dalam
pasal 6 UUPA dirumuskan dengan dalil hukum bahwa “semua hak atas tanah mempunyai
fungsi social”. Dengan demikian konsep hukum tanah nasional yang dikembangkan tetap
mengacu pada prinsip dan ketentuan dalam UUPA yang bersumber dan berdasarkan pada
hukum adat, dengan harapan bahwa apabila mengacu pada prinsip dan norma-norma dari
UUPA dapat menjadi solusi yang terbaik dalam upaya membangun konsep hukum tanah
nasional sebagai salah satu upaya dalam menata dan mengatasi penyelesaian konflik
pertanahan yang sangat kompleks.
Transaksi yang ada hubungannya dengan Tanah
1.
Transaksi Tanah
Dalam hukum adat dikenal dua macam
transaksi tanah, yaitu transaksi tentang tanah dan yang berhubugan dengan
tanah. Adapun yang dimaksud dengan transaksi adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh anggota persekutuan.
a. Transaksi tentang Tanah
Transaksi tanah adalah transaksi yang
objeknya tanah. Jenis-jenisnya sebagai berikut:
1. Jual gadai (grond verpondingl atau/jual
sendel ngajual akad) adalah suatu penyerahan tanah dengan imbalan suatu
pembayaran, kemudian tanah akan berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan
suatu pembayaran dalam suatu jangka waktu tertentu.
2. Jual Lepas (grond verkoop) yakni suatu
penyerahan tanah untuk selamanya. Atas penyerahan itu diberikan sejumlah
pembayaran sebagai gentian menjadi hak pihak yang menyerahkan tanah termasuk.
3. Jual Tahunan/jual oyodan, penyerahan tanah
kepada seseorang dengan jangka waktu satu atau dua kali pada masa panen
(tergantung pada perjanjiannya).
b. Transaksi yang Berkaitan dengan Tanah
Adalah
transaksi yang objeknya bukan tanah, tetapi hal-hal yang berkaitan dengan
tanah. Jenisnya sebagai berikut.
1. Perjanjian penggarapan tanah yaitu perjanjian
penggarapan antara pemilik tanah dan pemilik tenaga dengan perjanjian bagi
hasil, sistem maro dan sistem mertelu (terjadi di minang, jawa dan sunda)
2. Sewa Tanah yaitu perjanjian antara dua orang
untuk pengerjaan tanah dengan membayar sewa untuk setiap kali masa panen.
3.
Perjanjian tanggungan (zakerheidssteleing atau perjanjian
jonggolan) adalah utang piutang dengan memperoleh tanah sebagai jaminan atas
utang yang diberikan tersebut.
Comments