Sejarah Hukum Islam pada masa Orde Baru

                
Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar didunia, Indonesia tidak lantas menerapkan hukum islam sepenuhnya. Karena meskipun mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama islam, sejarah telah menjelaskan bahwasannya Indonesia adalah Negara yang toleran. Luas wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dihuni oleh 265 juta jiwa menjelaskan keberagaman suku, budaya serta agama/kepercayaan. Bahkan ada 6 agama yang diakui keberadaannya, yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Pada era orde baru, agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5, yakni agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dengan ketentuan tidak mengganggu satu sama lain, tetap hidup rukun berdampingan. Ini artinya, hukum yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya hukum islam.
                Adanya perbedaan ini turut mempengaruhi hukum yang diterapkan di Indonesia. Meskipun kebanyakan hukum yang berlaku (sebelum adanya pembaharuan) adalah turunan dari penjajah dan hukum adat suatu daerah, pengaruh hukum islam di Indonesia juga sangat kuat. Ini disebabkan karena islam masuk dan berkembang pesat di Indonesia. Sehingga mayoritas penduduknya beragama islam dan sudah barang tentu ada hukum islam yang mengaturnya. Namun tidak menafikan hukum lain yang berlaku. Hukum islam disini lebih condong mengatur masalah keluarga, termasuk juga perdata dan sebagainya.

Awal Mula Orde Baru
Orde baru merupakan sebutan untuk masa kepemimpinan Soeharto. Orde baru merupakan peralihan dari masa kepemimpinan Soekarno yang disebut Orde Lama. Salah satu hal yang menjadi penyebab runtuhnya Orde Lama dan Lahirnya Orde baru ialah karena keamanan yang kurang kondusif pada era Soekarno. Adanya peristiwa pemberontakan PKI/G30S juga menyebabkan keadaan pada masa itu semakin kacau. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR) merupakan titik awal lahirnya Orde Baru.
Bagi bangsa Indonesia, SUPERSEMAR memiliki peranan penting, seperti:
Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru
Soeharto mengambil tindakan untuk menstabilkan pemerintahan menggunakan SUPERSEMAR
Lahirnya SUPERSEMAR menjadi awal penataan kehidupan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
Orde Baru dibuat dengan harapan dapat membenahi penyimpangan yang terjadi pada era Soekarno. Orde Baru bertekad melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsisten. Keinginan tersebut ada dikarenakan berbeloknya tujuan UUD 1945 dan Pancasila pada era Orde Lama hanya untuk keperluan kekuasaan. Namun yang sebenarnya terjadi saat Orde Baru tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, Pancasila tetap menjadi tameng bagi penguasaan rezim saat itu.
Keadaan Pada Masa Orde Baru
Selama 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto di Indonesia merupakan waktu yang sangat lama. Di bawah kuasa Orde Baru ini timbul banyak perubahan yang didapat Indonesia. Meningkatnya stabilitas serta keamanan Negara Indonesia guna menumbuhkan pembangunan Negara, dan juga penataan ulang seluruh aspek berbangsa dan bernegara. Kemajuan yang cukup pesat ini diimbangi juga dengan rezim ke-otoriterian yang mengekang banyak masyarakat kalangan menengah kebawah.
Kelebihan pada masa Orde Baru
1. Sukses transmigrasi
2. Terwujudnya sistem KB
3. Terwujudnya swasembada pangan
4. Meningkatnya keamanan dalam negeri
5. Banyaknya investor asing yang menanamkan modal di Indonesia
6. Tumbuhnya rasa nasionalisme bagi masyarakat
Kekurangan Orde Baru
1. Banyaknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
2. Pembungkaman kritik dan susahnya menjadi oposisi pemerintah
3. Maraknya pelanggaran HAM
4. Terjadi banyak kekerasan dalam melaksanakan keamanan Negara
5. Ketidakpuasan masyarakat karena tidak berimbangnya pembangunan
6. Menurunnya kualitas tentara karena sibuk berpolitik

Runtuhnya Masa Orde Baru
Dibalik kesuksesan dalam pembangunan nasional di era Orde Baru. Era itu menyimpan banyak kelemahan yang mengakibatkan era itu semakin mundur. Maraknya KKN, pelaksanaan hukum yang tidak adil, serta kesenjangan sosial. Adapula kesenjangan antara pusat dengan daerah dalam hal pembangunan disebabkan disedotnya kekayaan daerah ke pusat.  Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi.
Berbagai kelemahan tersebut menuju puncaknya pada tahun 1997-1998. Hal yang menjadi penyebab utama yaitu adanya krisis moneter tahun 1997. Keadaan semakin memburuk, KKN makin merajalela, Kemiskinan rakyat makin menikat pula.
Demonstrasi rakyat besar-besaran terjadi di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meningalnya 4 mahasiswa dalam insiden tersebut karena bentrok dengan aparat kemanan. Akhirnya pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden dan menyerahkan jabatannya pada wakil presiden saat itu yaitu B.J Habibie. Atas peristiwa itu maka Orde Baru berakhir dan berganti dengan era Reformasi,
Perbedaan Sebelum dan Sesudah Adanya Hukum Islam
Diberbagai Negara di dunia, pemikiran tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat bergantung pada konservatif atau tidaknya golongan yang berkuasa. Negara-negara otoratis yang dikuasai oleh golongan yang eksklusif cenderung menolak perubahan. Karenanya, mereka akan cenderung pada pemikiran konservatif tentang hukum sehingga hanya melihat hukum sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Negara Negara yang telah mencapai keseimbangan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kemasyarakatan juga akan cenderung untuk konservatif dalam pemikirannya tentang hukum.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, ada dua factor yang mendesak diambilnya sikap progresif tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat, yakni:
Keinginan untuk secepatnya menghapuskan peninggalan kolonial
Harapan-harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan tercapainya kemerdekaan.
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki cita cita yang jelas tertuang dalam (rechtsidee, Belanda) dari republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, suatu republic kerakyatan (demokratis) yang didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan semboyan “…...dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Yang pertama adalah dalam Negara hukum, keuasaan itu tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu juga harus tunduk pada hukum yang ada. Tidak berbuat semena-mena. Pengertian umumnya adalah Negara berdasarkan hukum dan keuasaan harus tuduk pada hukum. Maka Indonesia termasuk juga Negara hukum. Karena penguasa tidak semena-mena dalam memutuskan suatu perkara, ada hukum dan badan hukum yang mengaturnya.
Hukum islam itu berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma negara. Sebagai bagian dari paradigma islam, penerapan nilai hukum islam menjadi nilai agama. Ia menjadi usaha oprasionalisasi totalitas islam dalam kenyataan empiris. Karena diyakini sebagai wahyu, tidak hanya hukum islam, tetapi seluruh perangkat keagamaan islam setahap demi setahap diusahakan mengejawantah dalam realitas konkret.  Namun pada saat yang sama, hukum islam pun menjadi bagian dari paradigma negara yang mempunyai system sendiri.
Legistimasi Negara berada pada komitmen atas pluraritas itu sendiri. Akibatnya untuk mempertahankan pluraritas itu, negara terpaksa mereduksi tidak hanya hukum islam, tetapi juga perangkat keislama lainnya. Hal ini dilakukan agar kelompok non islam tetap meng-identifikasikan dirinya dengan Negara. Membuat penganut agama lain merasa aman. Berarti negara harus berdiri netral, tidak berpihak ke salah satu agama.
Dalam studi rintisan, para ahli Eropa yang menyertai proses penjajahan bangsa mereka terhadap Indonesia, seperti Clootwijk (1752 – 1750), Freijer (1760), Solomon Keizer (1823 – 1868), C.F. Winter (1799 – 1859), Van den Berg (1845 – 1927) dan sebagainya, hukum islam dan hukum adat pada mulanya juga masih dipahami sebagai satu kesatuan dan tidak dipertentangkan. Van den Berg beranggapan bahwa hukum islam secara total berlaku di Indonesia dengan alasan bahwa seluruh unsurnya sudah menjadi bagian dari kehidupan hukum masyarakat nusantara. Namun Snouck berbeda pendapat mengenai ini, ia kebalikannya. Jadi menrut Snouck hukum isam tidak berlaku di Indonesia. Kalaupun ada unsur-unsur hukum islam yang berlaku di beberapa daerah, karena hukum islam sudah diterima menjadi bagian dari hukum adat masyarakat setempat.
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terlepas dari pengaruh hukum Belanda. Menuruut Hazairin, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka setelah Indonesia merdeka seluruh peraturan pemerintahan belanda yang berdasarkan teori receptive tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptive harus keluar karena bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah Rasulullah.
Pada masa orde lama, berarti sebelum berkuasanya orde baru, hukum islam tidak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan mengalami masa amat suram. Kesuraman hukum islam ini terlihat pada Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 pada Bab II Pasal 2 tentang “bidang mental/agama/kerohanian, penilitian yang menyatakan “Melaksanakan manifesto politik dilapangan pembinaan mental agama/kerohanian dab kebudayaan dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material, agar setiap warga Negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebudayaan asing”.
Peryataan ini, menurut Warkum Sumitro berdampak luas pada pelaksanaan hukum islam di Indonesia, karena pelaksanaan hukum islam di Indonesia selalu dikendalikan oleh manifesto politik. Upaya pendegradasian hukum islam juga dilakukan oleh Soekarno dkk, melalui kebijakannya terhadap organisasi-organisasi islam yang dianggap memiliki peran besar dalam penegakan hukum islam di Indonesia. Partai politik yang dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah disingkirkan melalui berbagai keputusan-keputusan. Misalnya tindakan orde lama yang melahirkan ideologi “Nasakom” yang menyatukan faham “nasionalis, agama, dan komunis”. Tindakan tersebut tidak masuk akal karena islam sebagai agama tauhid tidak mungkin bisa disatukan dengan faham komunis. Karena itu, tindakan tersebut ditentang keras oleh para pemimpin islam waktu itu sehingga tidak bisa berkembang dan terkubur dengan sendirinya.
                Pada masa sebelum orde baru, yaitu orde lama, eksikutorial verklaring tetap diberlakukan. Dengan ekssikutorial verklaring ini, maka setiap putusan pengadilan agama baru memiliki kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari Pengadilan Negri. Maka pada masa orde lama, keadaan suram juga dialami oleh pengadilan agama.
                Dengan demikian, hukum islam pada masa orde lama tidak menandakan adanya perbaikan. Bahkan mengalami masa amat suram. Ini disebabkan oleh dikendalikannya hukum islam oleh manifesto politik ditambah dengan adanya kebijakan yang tidak berpihak terhadap organisasi-organisasi islam yang dinilai memiliki peran besar dalam penegakan hukum islam di Indonesia.
                Pada masa awal orde baru, umat islam mempunyai harapan baru untuk memantapkan keberadaan hukum islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun setelah orde baru benar-benar berkuasa, mereka melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan politik islam. Terutama kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi kekuatan pemerintah. Dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat unsur-unsur hukum islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh masyarakat muslim. Bidang-bidang yang diperjuangkan pada masa itu yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat.
Hal ini ditunjukaan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang mentri agama dari kalangan suatu organisasi islam terbesar di Indonesia mencoba mengajukan rancangan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan fraksi-fraksi di DPR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 yang mengakui peradilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut Hazairin, hukum islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Kemudian mengalami perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang muncul setelah itu. Seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan lain sebagainya.
                Maka dari keterangan diatas, bisa disimpulkan bahwa sebelum era orde baru, hukum islam tidak mengalami perbaikan, bahkan mengalami masa suram. Dimana pada masa orde lama, hukum islam dikendalikan oleh manifesto politik. Juga di Peradilan Agama yang mengalami masa suram karena masih berlakunya ekssikutorial verklaring. Begitu pula pada masa awal orde baru, hukum islam tidak latas memiliki tempat ditata hukum di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu dan, hukum islam mulai memiliki posisi pada tata hukum Negara Indonesia. Ditandai dengan lahirnya UU No. 14/1970 yang merupakan hukum islam yang berdiri sendiri.
Pengaruh Adanya Hukum Islam
Pada masa orde baru, posisi dan kontribusi hukum islam dalam sistem hukum nasional dapat dilihat dari arah kebijakan politik hukum nasional yang dituangkan dalam rangkaian Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), GBHN tahun 1993 merupakan sikuen dari GBHN sebelumnya, yang menetapkan arah kebijakan hukum dengan penekanan semakin terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 yang meliputi materi hukum, aparatur penegak hukum serta sarana dan prasarana hukum.
Dalam sistem hukum nasional, sejak orde baru tidak ditemukan secara spesifik yang menyebutkan hukum islam baik sebagai sumber hukum nasional maupun sebagai cita-cita hukum positif. Hal ini tidak lantas menunjukan bahwa tidak ada kontribusi hukum islam dalam pembangunan sistem hukum nasional. Bisa dilihat dari beberapa produk hukum yang telah diciptakan pada masa orde baru seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Keseluruhan produk hukum islam tersebut masih berada dalam bidang hukum non netral dan belum ada yang menyentuh persoalan bidang hukum netral.
Di era awal orde baru, hukum islam juga mempengaruhi berbagai aspek organisasi keislaman dan politik. Pada tanggal 16 desember 1965 dibentuk badan Kordinasi Amal Muslimin yang terdiri atas 16 (enam belas) organisasi islam yang bertujuan untuk mengupayakan rehabilitasi Masyumi. Setelah “vonis mati” terhadap Masyumi turun, para pemrakarsanya berupaya membentuk partai politik lain, yang kemudian disebut permusi PERMUSI. Pada tanggal 7 April 1967 BKAM berhasil melahirkan Permusi (Partai Muslimin Indonesia).
Kemudian adanya isu aliran kepercayaan dalam SU (Sidang Umum) MPR 1973 juga salah satu bentuk pengaruh dari mulai munculnya hukum islam pada tata hukum di Indonesia pada masa orde baru. Fungsi utama SU MPR adalah memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN. Tugas pertama relative berjalan lancar karena semua fraksi memiliki kesamaan pandangan untuk memilih dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil presiden. Namun tidak dengan GBHN yang menimbulkan perdebatan berkepanjangan.
Masalah aliran kepercayaan pada saat itu juga sudah mulai mendapatkan perhatian dalam masyarakat. Pada tanggal 6-9 September 1970 dilangsungkan Simposium Kepercayaan (kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian) di Yogyakarta. Dalam simposium tersebut dihasilkan lima keputusan, yaitu:
Dasar hukum Kepercayaan tersebut dalam rangka pembinaan Tertib Hukum berdasarkan UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Menurut simposium tersebut kata kepercayaan dalam UUD 1945 tersebut identik dengan pengertian kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian.
Penguatan dasar hukum bagi kehidupan kepercayaan dalam hubungannya dengan pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa dikemukakan dalam kenyataan bahwa bangsa Indonesia memeluk dan menghayati (beribadat) menurut kepercayaan yang hakikat pengertiannya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian dasar hukum kepercayaan karena adanya kenyataan bahwa kepercayaan yang ada di bumi Indonesia aalah hakikatnya merupakan keperibadian bangsa Indonesia dan dengan demikian merupakan suatu yang tidak mungkin terpisahkan dari moral Pancasila dan bahkan merupakan salah satu sumber utama bagi moral Pancasila.
Adalah tanggung jawab bagi setiap warga Indonesia untuk menunaikan kewajibannya sebagai anggota masyarakat Indonesia berdasarkan moral Pancasila. Dengan demikian adalah menjadi keharusan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk membinanya. Tujuan ini hanya dapat dicapai melalui Pendidikan Moral Pancasila.
Perlunya diadakan pertemuan lanjutan dan lebih luas dalam bentuk musyawarah nasional.
Munas yang kemudian diadakan tanggal 27-30 Desember 1970 di Yogyakarta mengesahkan lima butir diatas.
Umat islam pada umumnya menolak aliran kepercayaan tersebut. Muhammadiyah melangsungkan seminar Majelis Tablig di Bandung pada tanggal 24-27 Desember 1970 yang secara khusus membahas masalah kabatinan. Makalah Hamka yang disampaikan dalam seminar tersebut pada intinya menolak aliran kebatinan (versi Munas diatas). Makalah ini dimuat sebelas kali berturut-turut dimajalah Panji Masyarakat.
                Prof. Dr. H.M. Rasyidi dalam buku islam dan kebatinan menyimpulkan bahwa ilmu kebatinan menodai agama. Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang bersidang tanggal 15 Februari 1971 juga menyimpulkan bahwa aliran kepercayaan tidak dapat disamakan dengan agama.
                Lalu masalah perjudian yang kian menjamur di DKI. Umat islam beraeaksi atas ini, terutama akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, yaitu awal awal orde baru. Pemerintah melalui beberapa gubernur mengizinkan pembukaan kasino, steam bath, night club, dan sarana hiburan lainnya. Akibatnya, pemimpin ormas-ormas islam menyatakan protesnya. Namun gubernur DKI Ali Sadikin berdalih bahwa pajak yang ditarik dari sarana-sarana hiburan itu merupakan sumber keuangan yang sangat besar bagi pemerintah daerah dalam membangun Jakarta. Bahkan parahnya lagi seorang anggota Muhammadiyah di Tulungagung meringkuk dalam tahanan Kodim setempat karena memprotes perjudian dikotanya. Berita ini menyebar luas dikalangan masyarakat. Sehinga mendapatkan protes keras, khususnya dari kalangan umat islam.
                Menyaksikan reaksi yang meluas tersebut, akhirnya pemerintah melalui Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional menyatakan tidak akan mengizinkan lagi pendirian sarana-sarana perjudian dan semacamnya, sedangkan yang sudah berdiri akan ditertibkan.
                Dari uraian di atas, jelas bahwa hukum islam mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, politik, ormas, sosial, sarana dan prasarana seperti tempat hiburan dan lain sebagainya. Meskipun di awal pemerintahan orde baru belum mendapat tempat di tata hukum nasional, namun pengaruhnya sudah ada.
Karakteristik Hukum Islam Orde Baru
Berbicara mengenai karakteristik hukum Islam Orde Baru, berarti juga membicarakan apa yang khas di dalamnya. Orde Baru telah menciptakan beberapa pembaharuan hukum di Indonesia yang tersangkut juga dalam hukum Islam.
Orde Baru inilah era dimana kepemimpinan Soeharto sangat kuat dan militeristik. Seperti lazimnya kepemimpinan gaya itu, masyarakat sipil dimandulkan suara dan perannya. Secara singkat ini bisa dilihat dari cara Soeharto membonsai parpol dengan berfusinya. parpol-parpol menjadi hanya menjadi tiga partai besar yaitu PPP, Golkar dan PDI pada tahun 1970-an6. Bahkan Secara konvensional kelompok tertentu wajib memberikan suaranya ke golongan karya yang berafiliasi dengan pemerintah. Dengan kewajiban ini, tak pelak dalam empat kali pemilu, perolehan suaraya terbanyak dan terus memimpin. Sementara itu suara-suara yang ingin menegakkan Syari’at Islam atau Islam sebagai dasar negara nyaris tak terdengar. Boleh jadi karena intervensi negara yang terlalu kuat terhadap gerak-gerik warganya termasuk ormas membuat semuanya menjadi diam dan tiarap, seolah ada kesimpulan bahwa berbeda dengan mainstrem negara adalah berbahaya. Bukan itu saja, tahun 1980-an bahkan pemerintah mulai menerapkan mono-loyalitas mengharuskan seluruh organisasi, kepemudaan sampai kemasyarakatan berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas. Kita menyebutnya asas tunggal. Dengan peraturan baru itu setiap perserikatan yang tidak berasaskan Pancasila dianggap bertentangan dengan negara/ maka dan harus siap dibubarkan. Dalam perkembangannnya untuk semua itu pemerintah menghadiahi umat Islam atau mengakomodir kepentingan umat Islam dalam berbagai bentuknya, misalnya dalam bentuk akomodasi struktural; diberlakukannya Undang-undang Perkawinan tahun 1974, Undang-undang Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, diubahnya peraturan tentang seragam sekolah dalam hal ini penggunaan tentang jilbab tahun 1991, keputusan bersama ditingkat menteri tentang amil zakat, infak dan shadakah juga tahun 1991, dan lain-lain.
 Dilihat dari peraturan-peraturan hukum islam yang berlaku pada masa orde baru, seperti berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam dan lain-lain, hukum islam yang kebanyakan mengatur tentang muamalah tidak semuanya diterapkan di Indonesia.
Hukum islam merupakan bagian dari agama islam yang pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at sebagaimana dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai hubungan manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesame. Oleh karena hukum tidak mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu adalah bagian muammalat dari syariat. Bahkan hanya sebagian keccil saja yang telah menjadi bagian dari hukum ( positif ) Indonesia. ( saidus Syahar, 1986 : 110 ).
Muammalat menurut kitab-kitab fiqh yang ada meliputi :
1. Munakahat dengan segala aspek yang terkait didalamnya
2. Fara’idh ( pembagian harta pusaka / waris )
3. Jinayat ( hukum pidana )
4. Jihad ( hukum perang )
5. Buyu’ ( hukum jual beli termasuk didalamnya syarat dan rukunnya )
6. Syarikat ( perseroan )
7. Al-hilafah ( hukum tata Negara )
8.Aqdhiyah (hukumacara)
                Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum islam pada masa orde baru, dan merupakan cikal bakal hukum islam untuk masa selanjutnya, tidak mengatur semua aspek muamalah seperti yang dirumuskan oleh ulama ulama fikih diatas. Hukum islam pada masa orde baru dan masa selanjutnya lebih banyak mencakup aspek keluarga. Bahkan secara khusus dan terperinci, hukum yang mengatur keluarga sejak dari sebelum menikah hingga berakhirnya pernikahan di atur dalam KHI Kompilasi Hukum Islam.
                Sehingga, hukum-hukum islam seperti hukum qishos, jual beli dan perseroan (syarikat) tidak secara khusus tertulis dalam peraturan perundang undangan dan menempati posisi hukum di Indonesia. Namun substansinya tetap dilakukan oleh masyarakat islam karena hukum tidak melarang. Atau bahkan tentang pernikahan itu sendiri. Contohnya seperti nikah siri.
Memahami Urgensi Hukum Islam Pada Masa Orde Baru
Menurut Prof. Deliar Noer perkembangan pemikiran islam di Indonesia dapat disimpulkan dalam tiga simpulan penting, yaitu:
Pertama: pemikiran kalangan islam lebih merupakan reaksi atas respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi atas pemikiran barat. Ia merupakan respon atas pandangan dan anjuran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho agar bangkit melawan kolonialisme. Dikalangan islam sendiri, ia juga merupakan respon atas pemikiran islam yang lain, seperti munculnya tradisionalisme sebagai reaksi atas modernisme.
Kedua: perbandingan pun sering dilakukan dnegan “yang tengah mengalami kemajuan”, yaitu barat. Maka sifat-sifat dunia barat diteladani dengan adopsi, adaptasi, atau dengan modifikasi tertentu. Reaksi atas perbandingan tersebut dikalangan islam bermacam-macam.
Ketiga: bidang pengetahuan islam yang digarap tidak bersifat menyeluruh dan mendalam. Soal-soal ekonomi dan politik tidak terlalu mendapatkan tempat. Hal ini dapat dilihat pada kurikulum-kurikulum madrasah dan pesantren.
Dari pemikiran-pemikiran islam yang muncul pada masa orde baru diatas, kita bisa simpulkan bahwa sangat penting untung memahami hukum islam pada masa orde baru. Bagaimana pemikiran-pemikiran islam muncul pada masa orde itu. Bagaimana cara pandang para cendikia muslim menghadapi pemerintahan dan menyesuaikan zaman. Pemikiran-pemikiran itu muncul sebagai respon dari keadaan dunia, termasuk sosial dan pendidikan yang ada pada masa orde baru. Pemikiran tersebut disesuaikan dengan keadaan Negara Indonesia.
Disamping itu muncul juga pemikiran pemikiran politik islam yang ada pada masa orde baru. Pemikiran-pemikiran ini kaitannya dengan politik yang ada pada masa pemerintahan Orde Baru. Secara umum ciri-ciri pemikiran politik islam yang lahir pada masa orde baru adalah sebagai berikut:
Pertama: pemikiran itu tidak lagi mempersoalkan ide-ide Negara islam dan perbedaan dikotomik antara Pancasila dan Ialam. Sehingga bila dibandingkan dengan “wilayah” pemikiran lainnya, bidang politik kurang dirambah secara mendalam sebab relevansinya dengan peningkatan kualitas umat secara langsung kurang factual. Pemikiran mereka bersifat rasional-fungsional. Ditingkat supra strukrur politik, sebagai konsekuensinya, “kecurigaan” penguasa terhadap umat islam semakin berkurang. Sedangkan di tingkat infra, semakin memperkuat ukhwah islamiyah karena tidak ada lagi sekat-sekat ideologis-politis. Dampaknya adalah lahirnya sikap generasi muda yang memandang kenyataan-kenyataan social lebih empirik daripada ideologis-politis.
Kedua: tidak terikat kepada madzhab. Dikotomik tradisionalisme-modernisme tidak lagi tampak pada pemikiran mereka. Bahkan, pemikiran Abdurahman Wahid, yang berasal dari “lembaga tradisional” NU, sangat mendukung modernisme islam. Tidak kalah modern nya dengan pemikiran lain.
Ketiga: gerakan ilmu, usaha mencari solusi secara ilmiyah dengan asas rasionalisme terhadap permasalahan-permasalahan umat. Atau, dengan kata lain yaitu islam iptek. Konsekuensinya, metode gerakan mereka adalah penetrasi dalam semua bidang kehidupan social-kemasyarakatan dan kenegaraan dalam rangka menghadirkan nilai-nilai dan wawasan keislaman.
Keempat: grtakan ilmu di atas membuat mereka proaktif terhadap permasalahan-permasalahan keislaman, tidak lagi semata-mata bersifat reaktif. Kalau dulu lebih bayak nahi mungkar, sekarang lebih kepada amar ma’ruf. Dakwah dilakukan dengan mekanisme kultural.
                Kelima: perilaku social-politik mereka pun mulai berubah. Kalau mereka dulu lantang bersuara dari “pinggir”, cara demikian dinilai kurang menguntungkan. Belajar dari realitas politik Orde Baru, maka mereka mulai melakukan strategi dari “dalam”. Ada dua warna: (1) Penetrasi nilai-nilai islam kedalam Negara. Misalnya, yang dilakukan oleh Dewan Raharjo, Imadudin Abdulrahim, dan Adi Sasono melalui ICMI. Nurcholis Majid mendirikan yayasan Paramadina dan aktif melakukan pengajian-pengajian yang diikuti oleh golongan menengah keatas diperkotaan. Sedangkan M. Amien Rais melakukannya melalui ICMI dan terutama Muhamadiyah. (2) Golongan menengah islam lainnya melakukan melalui saluran lembaga-lembaga politik formal masuknya cendikiawan muslim dalam keanggotaan DPR/MPR adalah salah satu contoh. Din Syamsudin menyalurkan melalui Golkar, sebagian yang lainnya melalui PPP.

Proses Pembentukan Hukum Islam Orde Baru
Lengsernya era Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam di Indonesia. Adanya harapan baru bagi umat untuk kekuatan payung hukum Islam di Negara ini. Harapan tersbut muncul karena banyaknya umat islam yang berkontribusi cukup besar dalam menumbangkan Orde Lama. Hukum Islam pada masa Orde Baru berarti Islam yang ada pada kekuasaan Soeharto. Era itu dikuasai olehnya selama 32 tahun.
Bisa dikatakan bahwa Era ini merupakan pokok dari perkembangan dan pengakuan terhadap berlakunya hukum Islam di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru sempat dikeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan keberadaan hukum di Indonesia, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Wakaf, Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres No.1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Proses Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pada awalnya pemerintahan OrdeBaru, tepatnya pada tahun 1973. Pemerintah Orde Baru memberikan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perkawinan kepada DPR agar disahkan menjadi Undang-Undang. Namun sebelum diajukan RUU tersebut kepada DPR, banyak ulama tradisional yang menentang RUU tersebut dikarenakan banyak pasal yang bersebrangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan dalam Islam.
                Dengan usaha seluruh komponen umat islam di Indonesia pada masa itu berhasil merubah RUU Perkawinan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islamiyah yang kemudian dihapuskan. Sehingga pada akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 RUU Perkawinan tersebut disetujui. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU Perkawinan itu disahkan menjadi UU NO.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
Lahirnya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf
Pada masa Orde Baru setelah masa tiga tahun Undang-Undang Perkawinan disahkan. Pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf. Peraturan tentang wakaf ini lahir karena belum adanya ketentuan hukum yang mengatur secara jelas tentang pengelolaan harta wakaf. Sebelum adanya peraturan pemerintah ini, banyak terjadi permasalahan mengenai harta wakaf. Permasalahan yang sering terjadi seperti sengketa tanah wakaf, tanah wakaf yang tidak jelas, penyalahgunaan tanah wakaf, dan sebagainya.
                Lahirnya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf ini menjadi hal baru dalam pengelolaan tanah wakaf. Hal itu menjadikan tata pengolaan tanah wakaf di Indonesia lebih teratur dari era sebelumnya. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini maka peraturan mengenai perwakafan sebelumnya yang berlakukan dengan ketentuan yang baru ini dinyatakan tidak berlaku.
Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Masa-masa sebelum lahirnya Undang-undang ini merupakan masa yang bisa disebut kelam bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Pada masa ini tidak ada perkembangan yang signifikan terjadi pada hukum Islam. Karena pada masa 1980-1990an penguasa mengeluarkan kebijakan tentang penerapan asas tunggal pancasila bagi organisasi social politik, lalu kemudian diberlakukan bagi organisasi masyarakat yang ada di Indonesia.
Adanya kebijakan pemerintah tersebut tentu saja menyebabkan penolakan yang keras Dari umat Islam yang hamper sama seperti penolakan RUU perkawinan 1973 itu. Organisasi politik dan ormas yang berlatar Islam dengan keras melakukan penolakan secara bersama-sama. Sampai pada ujungnya terjadi tragedi bentrokan antara aparat dengan masyarakat di Tanjong Priok, yang menyebabkan banyak nyawa umat Islam hilang.
Walaupun hubungan antara umat Islam dengan pemerintah saat itu susah. Namun menteri agama saat itu memberi celah baru bagi hukum Islam di Indonesia. Munawwir Sjadzali sebagai menteri agama mengajukan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Pro dan kontra tentu saja terjadi saat itu, namun tidak seheboh pada saat RUU perkawinan. Disahkannya Undang-Undang No.7 Tahun membawa perubahan penting bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Pengakuan terhadap keberadaan lembaga peradilan agama di Indonesia yang sejajar dengan badan peradilan lainnya. Dapat dikatakan ini merupakan pengakuan secara formal dari pemerintah pusat terhadap Hukum Islam.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Uraian sebelumnya mengenai lahirnya Undang-undang peradilan agama memberikan gambaran tentang pengakuan yang lebih konkrit dari sistem hukum dan perundangan, terhadap keberlakuan hukum di Indonesia. Meskipun peradilan agam sudah seragam di Indonesia, namun dalam rujukan setiap peradilan agama terjadi banyak perbedaan. Sehingga banyak kasus yang kenyataannya sama, namun ketika diputuskan berbeda antara peradilan agama dengan peradilan agama yang lain.
Ide untuk mempercepat lahirnya sebuah hukum materil bagi peradilan agama, muncul beberapa tahun setelah peradilan agama berada di bawah Mahkamah Agung dalam hal pelaksanaan teknis yustisialnya. Ada beberapa kelemahan yang terasa dalam masa pembinaan Mahkamah Agung, seperti hukum islam yang diterapkan di peradilan agama yang cenderung simpang siur, dikarenakan banyaknya perbedaan ulama dalam menentukan setiap persoalan. Untuk mengatasi itu, diperlukan adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku di lingkungan peradilan agama, yang dapat dijadikan acuan bagi para hakim dalam melaksanakan tugasnya.
Kesimpulan
                Dari berbagai literatur yang ada menjelaskan bahwasannya hukum islam pada masa orde baru belum mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu orde lama. Bahkan Khon Abdul Majid dalam bukunya menyebutkan bahwa sebelum era orde baru hingga awal masa orde baru, hukum islam tidak mengalami perbaikan, bahkan mengalami masa suram. Dimana pada masa orde lama, hukum islam dikendalikan oleh manifesto politik. Juga di Peradilan Agama yang mengalami masa suram karena masih berlakunya ekssikutorial verklaring. Begitu pula pada masa awal orde baru, hukum islam tidak latas memiliki tempat ditata hukum di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, hukum islam mulai memiliki posisi pada tata hukum Negara Indonesia. Ditandai dengan lahirnya UU No. 14/1970 yang merupakan hukum islam yang berdiri sendiri.
                Hal ini dibuktikan dengan terdapat banyak produk hukum islam yang muncul pada masa orde baru. Seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Wakaf, Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres No.1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
                Hukum islam pada masa Orde Baru juga mempengaruhi beberapa aspek kehidupan sosial, politik, ormas, serta sarana dan prasarana yang ada. Pengaruh ini sebagai respon terhadap situasi yang ada pada masa itu. Contohnya protes terhadap tempat hiburan yang semakin marak pada masa orde baru, di DKI misalnya. Berdiri kasino, steam bath, night club dan sarana hiburan lain yang memang sifatnya dilegalkan oleh Gubernur. Semua ini tentu mengundang protes dari kalangan umat islam yang memang sudah mulai mengenal hukum islam yang mulai mempunyai tempat di tata hukum di Indonesia.
                Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pada masa orde baru, hukum islam mulai muncul dan berkembang pesat hingga menjadi hukum yang legal di Indonesia. Maksudnya adalah hukum yang berlaku di Indonesia disamping hukum lain yang berlaku.

Comments