Sebagai Negara dengan penduduk
muslim terbesar didunia, Indonesia tidak lantas menerapkan hukum islam
sepenuhnya. Karena meskipun mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama islam,
sejarah telah menjelaskan bahwasannya Indonesia adalah Negara yang toleran. Luas
wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dihuni oleh 265 juta jiwa
menjelaskan keberagaman suku, budaya serta agama/kepercayaan. Bahkan ada 6
agama yang diakui keberadaannya, yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Pada era orde baru, agama yang diakui oleh
pemerintah Indonesia hanya 5, yakni agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.
Dengan ketentuan tidak mengganggu satu sama lain, tetap hidup rukun
berdampingan. Ini artinya, hukum yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya hukum
islam.
Adanya
perbedaan ini turut mempengaruhi hukum yang diterapkan di Indonesia. Meskipun
kebanyakan hukum yang berlaku (sebelum adanya pembaharuan) adalah turunan dari
penjajah dan hukum adat suatu daerah, pengaruh hukum islam di Indonesia juga
sangat kuat. Ini disebabkan karena islam masuk dan berkembang pesat di
Indonesia. Sehingga mayoritas penduduknya beragama islam dan sudah barang tentu
ada hukum islam yang mengaturnya. Namun tidak menafikan hukum lain yang
berlaku. Hukum islam disini lebih condong mengatur masalah keluarga, termasuk
juga perdata dan sebagainya.
Awal Mula Orde Baru
Orde baru merupakan sebutan untuk masa kepemimpinan
Soeharto. Orde baru merupakan peralihan dari masa kepemimpinan Soekarno yang
disebut Orde Lama. Salah satu hal yang menjadi penyebab runtuhnya Orde Lama dan
Lahirnya Orde baru ialah karena keamanan yang kurang kondusif pada era
Soekarno. Adanya peristiwa pemberontakan PKI/G30S juga menyebabkan keadaan pada
masa itu semakin kacau. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR)
merupakan titik awal lahirnya Orde Baru.
Bagi bangsa Indonesia, SUPERSEMAR memiliki peranan penting,
seperti:
Menjadi tonggak lahirnya Orde Baru
Soeharto mengambil tindakan untuk menstabilkan pemerintahan
menggunakan SUPERSEMAR
Lahirnya SUPERSEMAR menjadi awal penataan kehidupan sesuai
dengan Pancasila dan UUD 1945
Orde Baru dibuat dengan harapan dapat membenahi penyimpangan
yang terjadi pada era Soekarno. Orde Baru bertekad melaksanakan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsisten. Keinginan tersebut ada dikarenakan
berbeloknya tujuan UUD 1945 dan Pancasila pada era Orde Lama hanya untuk
keperluan kekuasaan. Namun yang sebenarnya terjadi saat Orde Baru tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya, Pancasila tetap menjadi tameng bagi penguasaan rezim
saat itu.
Keadaan Pada Masa Orde Baru
Selama 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto di Indonesia
merupakan waktu yang sangat lama. Di bawah kuasa Orde Baru ini timbul banyak
perubahan yang didapat Indonesia. Meningkatnya stabilitas serta keamanan Negara
Indonesia guna menumbuhkan pembangunan Negara, dan juga penataan ulang seluruh
aspek berbangsa dan bernegara. Kemajuan yang cukup pesat ini diimbangi juga
dengan rezim ke-otoriterian yang mengekang banyak masyarakat kalangan menengah
kebawah.
Kelebihan pada masa Orde Baru
1. Sukses transmigrasi
2. Terwujudnya sistem KB
3. Terwujudnya swasembada pangan
4. Meningkatnya keamanan dalam negeri
5. Banyaknya investor asing yang menanamkan modal di Indonesia
6. Tumbuhnya rasa nasionalisme bagi masyarakat
Kekurangan Orde Baru
1. Banyaknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
2. Pembungkaman kritik dan susahnya menjadi oposisi pemerintah
3. Maraknya pelanggaran HAM
4. Terjadi banyak kekerasan dalam melaksanakan keamanan Negara
5. Ketidakpuasan masyarakat karena tidak berimbangnya
pembangunan
6. Menurunnya kualitas tentara karena sibuk berpolitik
Runtuhnya Masa Orde Baru
Dibalik kesuksesan dalam pembangunan nasional di era Orde
Baru. Era itu menyimpan banyak kelemahan yang mengakibatkan era itu semakin
mundur. Maraknya KKN, pelaksanaan hukum yang tidak adil, serta kesenjangan
sosial. Adapula kesenjangan antara pusat dengan daerah dalam hal pembangunan
disebabkan disedotnya kekayaan daerah ke pusat.
Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi.
Berbagai kelemahan tersebut menuju puncaknya pada tahun
1997-1998. Hal yang menjadi penyebab utama yaitu adanya krisis moneter tahun 1997.
Keadaan semakin memburuk, KKN makin merajalela, Kemiskinan rakyat makin menikat
pula.
Demonstrasi rakyat besar-besaran terjadi di Jakarta pada
tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu
meningalnya 4 mahasiswa dalam insiden tersebut karena bentrok dengan aparat
kemanan. Akhirnya pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan
Presiden dan menyerahkan jabatannya pada wakil presiden saat itu yaitu B.J
Habibie. Atas peristiwa itu maka Orde Baru berakhir dan berganti dengan era
Reformasi,
Perbedaan Sebelum dan Sesudah Adanya Hukum Islam
Diberbagai Negara di dunia, pemikiran tentang hukum dan
peranannya dalam masyarakat bergantung pada konservatif atau tidaknya golongan
yang berkuasa. Negara-negara otoratis yang dikuasai oleh golongan yang
eksklusif cenderung menolak perubahan. Karenanya, mereka akan cenderung pada
pemikiran konservatif tentang hukum sehingga hanya melihat hukum sebagai alat
untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Negara Negara yang telah mencapai keseimbangan
dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kemasyarakatan juga akan cenderung untuk
konservatif dalam pemikirannya tentang hukum.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, ada dua factor yang
mendesak diambilnya sikap progresif tentang hukum dan peranannya dalam masyarakat,
yakni:
Keinginan untuk secepatnya menghapuskan peninggalan kolonial
Harapan-harapan yang ditimbulkan pada masyarakat dengan
tercapainya kemerdekaan.
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki cita cita yang jelas
tertuang dalam (rechtsidee, Belanda) dari republik Indonesia yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945, suatu republic kerakyatan (demokratis) yang
didirikan oleh pejuang-pejuang bangsa dengan semboyan “…...dari rakyat oleh
rakyat untuk rakyat”. Yang pertama adalah dalam Negara hukum, keuasaan itu
tidak tanpa batas, artinya kekuasaan itu juga harus tunduk pada hukum yang ada.
Tidak berbuat semena-mena. Pengertian umumnya adalah Negara berdasarkan hukum
dan keuasaan harus tuduk pada hukum. Maka Indonesia termasuk juga Negara hukum.
Karena penguasa tidak semena-mena dalam memutuskan suatu perkara, ada hukum dan
badan hukum yang mengaturnya.
Hukum islam itu berada pada titik tengah antara paradigma
agama dan paradigma negara. Sebagai bagian dari paradigma islam, penerapan
nilai hukum islam menjadi nilai agama. Ia menjadi usaha oprasionalisasi
totalitas islam dalam kenyataan empiris. Karena diyakini sebagai wahyu, tidak
hanya hukum islam, tetapi seluruh perangkat keagamaan islam setahap demi
setahap diusahakan mengejawantah dalam realitas konkret. Namun pada saat yang sama, hukum islam pun
menjadi bagian dari paradigma negara yang mempunyai system sendiri.
Legistimasi Negara berada pada komitmen atas pluraritas itu
sendiri. Akibatnya untuk mempertahankan pluraritas itu, negara terpaksa
mereduksi tidak hanya hukum islam, tetapi juga perangkat keislama lainnya. Hal
ini dilakukan agar kelompok non islam tetap meng-identifikasikan dirinya dengan
Negara. Membuat penganut agama lain merasa aman. Berarti negara harus berdiri
netral, tidak berpihak ke salah satu agama.
Dalam studi rintisan, para ahli Eropa yang menyertai proses
penjajahan bangsa mereka terhadap Indonesia, seperti Clootwijk (1752 – 1750),
Freijer (1760), Solomon Keizer (1823 – 1868), C.F. Winter (1799 – 1859), Van
den Berg (1845 – 1927) dan sebagainya, hukum islam dan hukum adat pada mulanya
juga masih dipahami sebagai satu kesatuan dan tidak dipertentangkan. Van den
Berg beranggapan bahwa hukum islam secara total berlaku di Indonesia dengan
alasan bahwa seluruh unsurnya sudah menjadi bagian dari kehidupan hukum
masyarakat nusantara. Namun Snouck berbeda pendapat mengenai ini, ia
kebalikannya. Jadi menrut Snouck hukum isam tidak berlaku di Indonesia.
Kalaupun ada unsur-unsur hukum islam yang berlaku di beberapa daerah, karena
hukum islam sudah diterima menjadi bagian dari hukum adat masyarakat setempat.
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah
terlepas dari pengaruh hukum Belanda. Menuruut Hazairin, walaupun aturan
peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945, maka setelah Indonesia merdeka seluruh peraturan
pemerintahan belanda yang berdasarkan teori receptive tidak berlaku lagi karena
jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptive harus keluar karena
bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah Rasulullah.
Pada masa orde lama, berarti sebelum berkuasanya orde baru,
hukum islam tidak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan mengalami masa
amat suram. Kesuraman hukum islam ini terlihat pada Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 pada Bab II
Pasal 2 tentang “bidang mental/agama/kerohanian, penilitian yang menyatakan “Melaksanakan
manifesto politik dilapangan pembinaan mental agama/kerohanian dab kebudayaan
dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material, agar setiap warga Negara
dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebudayaan asing”.
Peryataan ini, menurut Warkum Sumitro berdampak luas pada
pelaksanaan hukum islam di Indonesia, karena pelaksanaan hukum islam di
Indonesia selalu dikendalikan oleh manifesto politik. Upaya pendegradasian
hukum islam juga dilakukan oleh Soekarno dkk, melalui kebijakannya terhadap organisasi-organisasi
islam yang dianggap memiliki peran besar dalam penegakan hukum islam di
Indonesia. Partai politik yang dianggap membahayakan kekuasaan pemerintah disingkirkan
melalui berbagai keputusan-keputusan. Misalnya tindakan orde lama yang melahirkan
ideologi “Nasakom” yang menyatukan faham “nasionalis, agama, dan komunis”.
Tindakan tersebut tidak masuk akal karena islam sebagai agama tauhid tidak
mungkin bisa disatukan dengan faham komunis. Karena itu, tindakan tersebut
ditentang keras oleh para pemimpin islam waktu itu sehingga tidak bisa
berkembang dan terkubur dengan sendirinya.
Pada
masa sebelum orde baru, yaitu orde lama, eksikutorial verklaring tetap
diberlakukan. Dengan ekssikutorial verklaring ini, maka setiap putusan
pengadilan agama baru memiliki kekuatan hukum berlaku setelah mendapat
pengukuhan (fat eksekusi) dari Pengadilan Negri. Maka pada masa orde lama,
keadaan suram juga dialami oleh pengadilan agama.
Dengan
demikian, hukum islam pada masa orde lama tidak menandakan adanya perbaikan.
Bahkan mengalami masa amat suram. Ini disebabkan oleh dikendalikannya hukum
islam oleh manifesto politik ditambah dengan adanya kebijakan yang tidak
berpihak terhadap organisasi-organisasi islam yang dinilai memiliki peran besar
dalam penegakan hukum islam di Indonesia.
Pada
masa awal orde baru, umat islam mempunyai harapan baru untuk memantapkan
keberadaan hukum islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun setelah orde baru
benar-benar berkuasa, mereka melakukan kontrol yang lebih ketat terhadap kekuatan
politik islam. Terutama kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat menandingi
kekuatan pemerintah. Dalam perkembangannya, perjuangan untuk mengangkat
unsur-unsur hukum islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh masyarakat
muslim. Bidang-bidang yang diperjuangkan pada masa itu yakni hukum perkawinan,
hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat.
Hal ini ditunjukaan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang
mentri agama dari kalangan suatu organisasi islam terbesar di Indonesia mencoba
mengajukan rancangan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan
fraksi-fraksi di DPR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan
mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia
pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No. 14
Tahun 1970 yang mengakui peradilan agama sebagai salah satu badan peradilan
yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut Hazairin, hukum
islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri. Kemudian mengalami perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan
yang muncul setelah itu. Seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan lain sebagainya.
Maka
dari keterangan diatas, bisa disimpulkan bahwa sebelum era orde baru, hukum
islam tidak mengalami perbaikan, bahkan mengalami masa suram. Dimana pada masa
orde lama, hukum islam dikendalikan oleh manifesto politik. Juga di Peradilan
Agama yang mengalami masa suram karena masih berlakunya ekssikutorial verklaring.
Begitu pula pada masa awal orde baru, hukum islam tidak latas memiliki tempat
ditata hukum di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu dan, hukum islam
mulai memiliki posisi pada tata hukum Negara Indonesia. Ditandai dengan
lahirnya UU No. 14/1970 yang merupakan hukum islam yang berdiri sendiri.
Pengaruh Adanya Hukum Islam
Pada masa orde baru, posisi dan kontribusi hukum islam dalam
sistem hukum nasional dapat dilihat dari arah kebijakan politik hukum nasional
yang dituangkan dalam rangkaian Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), GBHN
tahun 1993 merupakan sikuen dari GBHN sebelumnya, yang menetapkan arah
kebijakan hukum dengan penekanan semakin terwujudnya sistem hukum nasional yang
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 yang meliputi materi hukum, aparatur
penegak hukum serta sarana dan prasarana hukum.
Dalam sistem hukum nasional, sejak orde baru tidak ditemukan
secara spesifik yang menyebutkan hukum islam baik sebagai sumber hukum nasional
maupun sebagai cita-cita hukum positif. Hal ini tidak lantas menunjukan bahwa
tidak ada kontribusi hukum islam dalam pembangunan sistem hukum nasional. Bisa
dilihat dari beberapa produk hukum yang telah diciptakan pada masa orde baru
seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.
Keseluruhan produk hukum islam tersebut masih berada dalam bidang hukum non
netral dan belum ada yang menyentuh persoalan bidang hukum netral.
Di era awal orde baru, hukum islam juga mempengaruhi
berbagai aspek organisasi keislaman dan politik. Pada tanggal 16 desember 1965
dibentuk badan Kordinasi Amal Muslimin yang terdiri atas 16 (enam belas)
organisasi islam yang bertujuan untuk mengupayakan rehabilitasi Masyumi.
Setelah “vonis mati” terhadap Masyumi turun, para pemrakarsanya berupaya
membentuk partai politik lain, yang kemudian disebut permusi PERMUSI. Pada
tanggal 7 April 1967 BKAM berhasil melahirkan Permusi (Partai Muslimin
Indonesia).
Kemudian adanya isu aliran kepercayaan dalam SU (Sidang
Umum) MPR 1973 juga salah satu bentuk pengaruh dari mulai munculnya hukum islam
pada tata hukum di Indonesia pada masa orde baru. Fungsi utama SU MPR adalah
memilih presiden dan wakil presiden serta menetapkan GBHN. Tugas pertama relative
berjalan lancar karena semua fraksi memiliki kesamaan pandangan untuk memilih
dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai
wakil presiden. Namun tidak dengan GBHN yang menimbulkan perdebatan
berkepanjangan.
Masalah aliran kepercayaan pada saat itu juga sudah mulai
mendapatkan perhatian dalam masyarakat. Pada tanggal 6-9 September 1970
dilangsungkan Simposium Kepercayaan (kebatinan, kejiwaan, dan kerohanian) di
Yogyakarta. Dalam simposium tersebut dihasilkan lima keputusan, yaitu:
Dasar hukum Kepercayaan tersebut dalam rangka pembinaan
Tertib Hukum berdasarkan UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Menurut simposium tersebut
kata kepercayaan dalam UUD 1945 tersebut identik dengan pengertian kebatinan,
kejiwaan, dan kerohanian.
Penguatan dasar hukum bagi kehidupan kepercayaan dalam
hubungannya dengan pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa dikemukakan dalam
kenyataan bahwa bangsa Indonesia memeluk dan menghayati (beribadat) menurut
kepercayaan yang hakikat pengertiannya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian dasar hukum kepercayaan karena adanya kenyataan
bahwa kepercayaan yang ada di bumi Indonesia aalah hakikatnya merupakan
keperibadian bangsa Indonesia dan dengan demikian merupakan suatu yang tidak
mungkin terpisahkan dari moral Pancasila dan bahkan merupakan salah satu sumber
utama bagi moral Pancasila.
Adalah tanggung jawab bagi setiap warga Indonesia untuk menunaikan
kewajibannya sebagai anggota masyarakat Indonesia berdasarkan moral Pancasila.
Dengan demikian adalah menjadi keharusan bagi pemerintah dan masyarakat
Indonesia untuk membinanya. Tujuan ini hanya dapat dicapai melalui Pendidikan
Moral Pancasila.
Perlunya diadakan pertemuan lanjutan dan lebih luas dalam
bentuk musyawarah nasional.
Munas yang kemudian diadakan tanggal 27-30 Desember 1970 di
Yogyakarta mengesahkan lima butir diatas.
Umat islam pada umumnya menolak aliran kepercayaan tersebut.
Muhammadiyah melangsungkan seminar Majelis Tablig di Bandung pada tanggal 24-27
Desember 1970 yang secara khusus membahas masalah kabatinan. Makalah Hamka yang
disampaikan dalam seminar tersebut pada intinya menolak aliran kebatinan (versi
Munas diatas). Makalah ini dimuat sebelas kali berturut-turut dimajalah Panji
Masyarakat.
Prof.
Dr. H.M. Rasyidi dalam buku islam dan kebatinan menyimpulkan bahwa ilmu
kebatinan menodai agama. Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang bersidang
tanggal 15 Februari 1971 juga menyimpulkan bahwa aliran kepercayaan tidak dapat
disamakan dengan agama.
Lalu
masalah perjudian yang kian menjamur di DKI. Umat islam beraeaksi atas ini,
terutama akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, yaitu awal awal orde baru.
Pemerintah melalui beberapa gubernur mengizinkan pembukaan kasino, steam bath, night
club, dan sarana hiburan lainnya. Akibatnya, pemimpin ormas-ormas islam menyatakan
protesnya. Namun gubernur DKI Ali Sadikin berdalih bahwa pajak yang ditarik
dari sarana-sarana hiburan itu merupakan sumber keuangan yang sangat besar bagi
pemerintah daerah dalam membangun Jakarta. Bahkan parahnya lagi seorang anggota
Muhammadiyah di Tulungagung meringkuk dalam tahanan Kodim setempat karena
memprotes perjudian dikotanya. Berita ini menyebar luas dikalangan masyarakat.
Sehinga mendapatkan protes keras, khususnya dari kalangan umat islam.
Menyaksikan
reaksi yang meluas tersebut, akhirnya pemerintah melalui Dewan Stabilisasi
Ekonomi Nasional menyatakan tidak akan mengizinkan lagi pendirian sarana-sarana
perjudian dan semacamnya, sedangkan yang sudah berdiri akan ditertibkan.
Dari
uraian di atas, jelas bahwa hukum islam mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
bangsa Indonesia, politik, ormas, sosial, sarana dan prasarana seperti tempat
hiburan dan lain sebagainya. Meskipun di awal pemerintahan orde baru belum
mendapat tempat di tata hukum nasional, namun pengaruhnya sudah ada.
Karakteristik Hukum Islam Orde Baru
Berbicara mengenai karakteristik hukum Islam Orde Baru,
berarti juga membicarakan apa yang khas di dalamnya. Orde Baru telah
menciptakan beberapa pembaharuan hukum di Indonesia yang tersangkut juga dalam
hukum Islam.
Orde Baru inilah era dimana kepemimpinan Soeharto sangat
kuat dan militeristik. Seperti lazimnya kepemimpinan gaya itu, masyarakat sipil
dimandulkan suara dan perannya. Secara singkat ini bisa dilihat dari cara
Soeharto membonsai parpol dengan berfusinya. parpol-parpol menjadi hanya
menjadi tiga partai besar yaitu PPP, Golkar dan PDI pada tahun 1970-an6. Bahkan
Secara konvensional kelompok tertentu wajib memberikan suaranya ke golongan
karya yang berafiliasi dengan pemerintah. Dengan kewajiban ini, tak pelak dalam
empat kali pemilu, perolehan suaraya terbanyak dan terus memimpin. Sementara
itu suara-suara yang ingin menegakkan Syari’at Islam atau Islam sebagai dasar
negara nyaris tak terdengar. Boleh jadi karena intervensi negara yang terlalu
kuat terhadap gerak-gerik warganya termasuk ormas membuat semuanya menjadi diam
dan tiarap, seolah ada kesimpulan bahwa berbeda dengan mainstrem negara adalah
berbahaya. Bukan itu saja, tahun 1980-an bahkan pemerintah mulai menerapkan
mono-loyalitas mengharuskan seluruh organisasi, kepemudaan sampai
kemasyarakatan berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas. Kita
menyebutnya asas tunggal. Dengan peraturan baru itu setiap perserikatan yang
tidak berasaskan Pancasila dianggap bertentangan dengan negara/ maka dan harus
siap dibubarkan. Dalam perkembangannnya untuk semua itu pemerintah menghadiahi
umat Islam atau mengakomodir kepentingan umat Islam dalam berbagai bentuknya,
misalnya dalam bentuk akomodasi struktural; diberlakukannya Undang-undang
Perkawinan tahun 1974, Undang-undang Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi
Hukum Islam tahun 1991, diubahnya peraturan tentang seragam sekolah dalam hal
ini penggunaan tentang jilbab tahun 1991, keputusan bersama ditingkat menteri
tentang amil zakat, infak dan shadakah juga tahun 1991, dan lain-lain.
Dilihat dari
peraturan-peraturan hukum islam yang berlaku pada masa orde baru, seperti
berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam dan lain-lain, hukum islam
yang kebanyakan mengatur tentang muamalah tidak semuanya diterapkan di
Indonesia.
Hukum islam merupakan bagian dari agama islam yang
pelaksanaanya diatur berdasarkan syari’at islam. Syari’at sebagaimana
dijelaskan pada lembaran awal, adalah mengatur mengatur mengenai hubungan
manusia dengan tuhan dan manusia dengan sesame. Oleh karena hukum tidak
mengenal pengaturan lahiriyah antara manusia dengan tuhan ( ibadat ) bila
dilihat dari ilmu fiqh, maka yang dapat dimasukkan kedalam hokum islam itu
adalah bagian muammalat dari syariat. Bahkan hanya sebagian keccil saja yang
telah menjadi bagian dari hukum ( positif ) Indonesia. ( saidus Syahar, 1986 :
110 ).
Muammalat menurut kitab-kitab fiqh yang ada meliputi :
1. Munakahat dengan segala aspek yang terkait didalamnya
2. Fara’idh ( pembagian harta pusaka / waris )
3. Jinayat ( hukum pidana )
4. Jihad ( hukum perang )
5. Buyu’ ( hukum jual beli termasuk didalamnya syarat dan
rukunnya )
6. Syarikat ( perseroan )
7. Al-hilafah ( hukum tata Negara )
8.Aqdhiyah (hukumacara)
Jadi
dapat disimpulkan bahwa hukum islam pada masa orde baru, dan merupakan cikal
bakal hukum islam untuk masa selanjutnya, tidak mengatur semua aspek muamalah
seperti yang dirumuskan oleh ulama ulama fikih diatas. Hukum islam pada masa
orde baru dan masa selanjutnya lebih banyak mencakup aspek keluarga. Bahkan
secara khusus dan terperinci, hukum yang mengatur keluarga sejak dari sebelum
menikah hingga berakhirnya pernikahan di atur dalam KHI Kompilasi Hukum Islam.
Sehingga,
hukum-hukum islam seperti hukum qishos, jual beli dan perseroan (syarikat)
tidak secara khusus tertulis dalam peraturan perundang undangan dan menempati
posisi hukum di Indonesia. Namun substansinya tetap dilakukan oleh masyarakat
islam karena hukum tidak melarang. Atau bahkan tentang pernikahan itu sendiri.
Contohnya seperti nikah siri.
Memahami Urgensi Hukum Islam Pada Masa Orde Baru
Menurut Prof. Deliar Noer perkembangan pemikiran islam di
Indonesia dapat disimpulkan dalam tiga simpulan penting, yaitu:
Pertama: pemikiran kalangan islam lebih merupakan reaksi
atas respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi atas pemikiran
barat. Ia merupakan respon atas pandangan dan anjuran Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridho agar bangkit melawan kolonialisme. Dikalangan islam sendiri, ia juga
merupakan respon atas pemikiran islam yang lain, seperti munculnya tradisionalisme
sebagai reaksi atas modernisme.
Kedua: perbandingan pun sering dilakukan dnegan “yang tengah
mengalami kemajuan”, yaitu barat. Maka sifat-sifat dunia barat diteladani
dengan adopsi, adaptasi, atau dengan modifikasi tertentu. Reaksi atas perbandingan
tersebut dikalangan islam bermacam-macam.
Ketiga: bidang pengetahuan islam yang digarap tidak bersifat
menyeluruh dan mendalam. Soal-soal ekonomi dan politik tidak terlalu
mendapatkan tempat. Hal ini dapat dilihat pada kurikulum-kurikulum madrasah dan
pesantren.
Dari pemikiran-pemikiran islam yang muncul pada masa orde
baru diatas, kita bisa simpulkan bahwa sangat penting untung memahami hukum
islam pada masa orde baru. Bagaimana pemikiran-pemikiran islam muncul pada masa
orde itu. Bagaimana cara pandang para cendikia muslim menghadapi pemerintahan
dan menyesuaikan zaman. Pemikiran-pemikiran itu muncul sebagai respon dari
keadaan dunia, termasuk sosial dan pendidikan yang ada pada masa orde baru.
Pemikiran tersebut disesuaikan dengan keadaan Negara Indonesia.
Disamping itu muncul juga pemikiran pemikiran politik islam
yang ada pada masa orde baru. Pemikiran-pemikiran ini kaitannya dengan politik
yang ada pada masa pemerintahan Orde Baru. Secara umum ciri-ciri pemikiran
politik islam yang lahir pada masa orde baru adalah sebagai berikut:
Pertama: pemikiran itu tidak lagi mempersoalkan ide-ide
Negara islam dan perbedaan dikotomik antara Pancasila dan Ialam. Sehingga bila
dibandingkan dengan “wilayah” pemikiran lainnya, bidang politik kurang dirambah
secara mendalam sebab relevansinya dengan peningkatan kualitas umat secara
langsung kurang factual. Pemikiran mereka bersifat rasional-fungsional.
Ditingkat supra strukrur politik, sebagai konsekuensinya, “kecurigaan” penguasa
terhadap umat islam semakin berkurang. Sedangkan di tingkat infra, semakin
memperkuat ukhwah islamiyah karena tidak ada lagi sekat-sekat
ideologis-politis. Dampaknya adalah lahirnya sikap generasi muda yang memandang
kenyataan-kenyataan social lebih empirik daripada ideologis-politis.
Kedua: tidak terikat kepada madzhab. Dikotomik
tradisionalisme-modernisme tidak lagi tampak pada pemikiran mereka. Bahkan,
pemikiran Abdurahman Wahid, yang berasal dari “lembaga tradisional” NU, sangat
mendukung modernisme islam. Tidak kalah modern nya dengan pemikiran lain.
Ketiga: gerakan ilmu, usaha mencari solusi secara ilmiyah
dengan asas rasionalisme terhadap permasalahan-permasalahan umat. Atau, dengan
kata lain yaitu islam iptek. Konsekuensinya, metode gerakan mereka adalah
penetrasi dalam semua bidang kehidupan social-kemasyarakatan dan kenegaraan
dalam rangka menghadirkan nilai-nilai dan wawasan keislaman.
Keempat: grtakan ilmu di atas membuat mereka proaktif
terhadap permasalahan-permasalahan keislaman, tidak lagi semata-mata bersifat
reaktif. Kalau dulu lebih bayak nahi mungkar, sekarang lebih kepada amar
ma’ruf. Dakwah dilakukan dengan mekanisme kultural.
Kelima:
perilaku social-politik mereka pun mulai berubah. Kalau mereka dulu lantang
bersuara dari “pinggir”, cara demikian dinilai kurang menguntungkan. Belajar
dari realitas politik Orde Baru, maka mereka mulai melakukan strategi dari
“dalam”. Ada dua warna: (1) Penetrasi nilai-nilai islam kedalam Negara.
Misalnya, yang dilakukan oleh Dewan Raharjo, Imadudin Abdulrahim, dan Adi
Sasono melalui ICMI. Nurcholis Majid mendirikan yayasan Paramadina dan aktif
melakukan pengajian-pengajian yang diikuti oleh golongan menengah keatas
diperkotaan. Sedangkan M. Amien Rais melakukannya melalui ICMI dan terutama
Muhamadiyah. (2) Golongan menengah islam lainnya melakukan melalui saluran
lembaga-lembaga politik formal masuknya cendikiawan muslim dalam keanggotaan
DPR/MPR adalah salah satu contoh. Din Syamsudin menyalurkan melalui Golkar,
sebagian yang lainnya melalui PPP.
Proses Pembentukan Hukum Islam Orde Baru
Lengsernya era Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat
Islam di Indonesia. Adanya harapan baru bagi umat untuk kekuatan payung hukum
Islam di Negara ini. Harapan tersbut muncul karena banyaknya umat islam yang
berkontribusi cukup besar dalam menumbangkan Orde Lama. Hukum Islam pada masa
Orde Baru berarti Islam yang ada pada kekuasaan Soeharto. Era itu dikuasai
olehnya selama 32 tahun.
Bisa dikatakan bahwa Era ini merupakan pokok dari
perkembangan dan pengakuan terhadap berlakunya hukum Islam di Indonesia. Pada
masa pemerintahan Orde Baru sempat dikeluarkan beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan keberadaan hukum di
Indonesia, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, Peraturan
Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Wakaf, Undang-Undang No 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, dan Inpres No.1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia.
Proses Lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Pada awalnya pemerintahan OrdeBaru, tepatnya pada tahun
1973. Pemerintah Orde Baru memberikan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang perkawinan kepada DPR agar disahkan menjadi Undang-Undang. Namun
sebelum diajukan RUU tersebut kepada DPR, banyak ulama tradisional yang
menentang RUU tersebut dikarenakan banyak pasal yang bersebrangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan
dalam Islam.
Dengan usaha seluruh komponen umat
islam di Indonesia pada masa itu berhasil merubah RUU Perkawinan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islamiyah yang kemudian dihapuskan.
Sehingga pada akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 RUU Perkawinan tersebut
disetujui. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU Perkawinan itu disahkan menjadi UU NO.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
Lahirnya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf
Pada masa Orde Baru setelah masa tiga tahun Undang-Undang
Perkawinan disahkan. Pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah kembali mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf. Peraturan tentang wakaf
ini lahir karena belum adanya ketentuan hukum yang mengatur secara jelas
tentang pengelolaan harta wakaf. Sebelum adanya peraturan pemerintah ini,
banyak terjadi permasalahan mengenai harta wakaf. Permasalahan yang sering
terjadi seperti sengketa tanah wakaf, tanah wakaf yang tidak jelas, penyalahgunaan
tanah wakaf, dan sebagainya.
Lahirnya
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tentang Wakaf ini menjadi hal baru dalam
pengelolaan tanah wakaf. Hal itu menjadikan tata pengolaan tanah wakaf di
Indonesia lebih teratur dari era sebelumnya. Dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah ini maka peraturan mengenai perwakafan sebelumnya yang berlakukan
dengan ketentuan yang baru ini dinyatakan tidak berlaku.
Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
Masa-masa sebelum lahirnya Undang-undang ini merupakan masa
yang bisa disebut kelam bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Pada masa
ini tidak ada perkembangan yang signifikan terjadi pada hukum Islam. Karena
pada masa 1980-1990an penguasa mengeluarkan kebijakan tentang penerapan asas
tunggal pancasila bagi organisasi social politik, lalu kemudian diberlakukan
bagi organisasi masyarakat yang ada di Indonesia.
Adanya kebijakan pemerintah tersebut tentu saja menyebabkan
penolakan yang keras Dari umat Islam yang hamper sama seperti penolakan RUU
perkawinan 1973 itu. Organisasi politik dan ormas yang berlatar Islam dengan
keras melakukan penolakan secara bersama-sama. Sampai pada ujungnya terjadi
tragedi bentrokan antara aparat dengan masyarakat di Tanjong Priok, yang
menyebabkan banyak nyawa umat Islam hilang.
Walaupun hubungan antara umat Islam dengan pemerintah saat
itu susah. Namun menteri agama saat itu memberi celah baru bagi hukum Islam di
Indonesia. Munawwir Sjadzali sebagai menteri agama mengajukan RUU Peradilan
Agama kepada DPR untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Pro dan kontra tentu saja terjadi saat itu, namun tidak
seheboh pada saat RUU perkawinan. Disahkannya Undang-Undang No.7 Tahun membawa
perubahan penting bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. Pengakuan
terhadap keberadaan lembaga peradilan agama di Indonesia yang sejajar dengan
badan peradilan lainnya. Dapat dikatakan ini merupakan pengakuan secara formal
dari pemerintah pusat terhadap Hukum Islam.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Uraian sebelumnya mengenai lahirnya Undang-undang peradilan
agama memberikan gambaran tentang pengakuan yang lebih konkrit dari sistem
hukum dan perundangan, terhadap keberlakuan hukum di Indonesia. Meskipun
peradilan agam sudah seragam di Indonesia, namun dalam rujukan setiap peradilan
agama terjadi banyak perbedaan. Sehingga banyak kasus yang kenyataannya sama,
namun ketika diputuskan berbeda antara peradilan agama dengan peradilan agama
yang lain.
Ide untuk mempercepat lahirnya sebuah hukum materil bagi
peradilan agama, muncul beberapa tahun setelah peradilan agama berada di bawah
Mahkamah Agung dalam hal pelaksanaan teknis yustisialnya. Ada beberapa
kelemahan yang terasa dalam masa pembinaan Mahkamah Agung, seperti hukum islam
yang diterapkan di peradilan agama yang cenderung simpang siur, dikarenakan
banyaknya perbedaan ulama dalam menentukan setiap persoalan. Untuk mengatasi
itu, diperlukan adanya suatu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan
yang berlaku di lingkungan peradilan agama, yang dapat dijadikan acuan bagi
para hakim dalam melaksanakan tugasnya.
Kesimpulan
Dari
berbagai literatur yang ada menjelaskan bahwasannya hukum islam pada masa orde
baru belum mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu
orde lama. Bahkan Khon Abdul Majid dalam bukunya menyebutkan bahwa sebelum era
orde baru hingga awal masa orde baru, hukum islam tidak mengalami perbaikan,
bahkan mengalami masa suram. Dimana pada masa orde lama, hukum islam
dikendalikan oleh manifesto politik. Juga di Peradilan Agama yang mengalami
masa suram karena masih berlakunya ekssikutorial verklaring. Begitu pula pada
masa awal orde baru, hukum islam tidak latas memiliki tempat ditata hukum di
Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, hukum islam mulai memiliki posisi
pada tata hukum Negara Indonesia. Ditandai dengan lahirnya UU No. 14/1970 yang
merupakan hukum islam yang berdiri sendiri.
Hal ini
dibuktikan dengan terdapat banyak produk hukum islam yang muncul pada masa orde
baru. Seperti UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 1977 tentang Wakaf, Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dan Inpres No.1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Hukum
islam pada masa Orde Baru juga mempengaruhi beberapa aspek kehidupan sosial,
politik, ormas, serta sarana dan prasarana yang ada. Pengaruh ini sebagai
respon terhadap situasi yang ada pada masa itu. Contohnya protes terhadap
tempat hiburan yang semakin marak pada masa orde baru, di DKI misalnya. Berdiri
kasino, steam bath, night club dan sarana hiburan lain yang memang sifatnya
dilegalkan oleh Gubernur. Semua ini tentu mengundang protes dari kalangan umat
islam yang memang sudah mulai mengenal hukum islam yang mulai mempunyai tempat
di tata hukum di Indonesia.
Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa pada masa orde baru, hukum islam mulai muncul dan
berkembang pesat hingga menjadi hukum yang legal di Indonesia. Maksudnya adalah
hukum yang berlaku di Indonesia disamping hukum lain yang berlaku.
Comments