Al-Qur’an adalah kalam Allah yang sekaligus merupakan mukjizat
nabi Muhammad saw. yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril secara
berangsur-angsur sebagai petunjuk, pegangan dan pedoman bagi umat manusia yang di
dalamnya terdapat cahaya pelita, penyembuh dari segala penyakit, dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.
Al-Qur’an
merupakan sumber dari nilai, sikap, dan perilaku umat Islam. Sebagai acuan
Al-Qur’an harus dipahami terlebih dahulu,baru kemudian diamalkan. Upaya dalam pemahaman Al-Qur’ân dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu melalui ilmu asbabun nuzul, munasabah, dan lainnya.
Kehadiran
Al-Qur’an dan misi risalah Rasulullah SAW selalu mengundang perhatian dari
berbagai pihak untuk mengadakan studi. Aspek
kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah maupun aspek non ilmiah. Hal
ini barangkali dikarenakan oleh mukjizat Al-Qur’an. Keajaiban Al-Qur’an seperti
air laut tak pernah kering untuk ditimba. Ia selalu memberikan inspirasi kepada
manusia tanpa habisnya.
Pengertian Wahyu secara Etimologi
adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada
orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Sedangkan menurut Terminologi Wahyu adalah firman (petunjuk) Allah yang disampaikan kepada para
nabi dan awliya. Defenisi yang lebih ringkas, namun jelas adalah
“كلام الله تعالى المنزل على نبي من
أنبيائه”. (Kalam Allah yang diturunkan kepada para
nabi-Nya)
A. Proses Pewahyuan Al-Qur’an
Menurut ulama konvensional
terdapat beberapa tahap tentang penurunan wahyu (al-Qur’an). Adapun tahapan
tersebut yaitu ada 2 tahap penurunan: Pertama, wahyu diturunkan dari lauh
mahfudz menuju Samaaiddunya
secara spontan (sekaligus) dalam artian tanpa adanya
perantara ketika penurunan terjadi. Kedua, sesudah sampai di Samaaiddunya, maka malaikat Jibril lah yang berperan sebagai perantara
untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad Saw. berdurasi selama 23
tahun. Dari pentahapan ini pun proses terjadinya secara cepat dan tersembunyi.
Para ulama konvensional berpendapat bahwa lafadz dan maknanya murni dari Allah
SWT. Adapun sketsa tahap penurunan tersebut sebagai berikut:
Telah jelas di atas bahwa tahap
penurunan al-Qur’an mempunyai proses berawal dari lauh
mahfudz menuju Samaaiddunya, dalam jangka waktu satu malam (sekaligus) di bulan
Ramadhan, lalu dilanjutkan dari Samaaiddunya, ke Nabi Muhammad turun secara bertahap dengan perantara
malaikat Jibril. Akan tetapi, dalam pentahapan tersebut tidak dijelaskan secara
detail baik itu proses pewahyuan dari lauh
mahfudz ke Samaaiddunya, ataupun Samaaiddunya, ke Nabi Muhammad SAW. seperti bagaimana malaikat Jibril
menerima wahyu tersebut dari Allah apakah Jibril tersebut hanya berdiam diri di
baitul izzah atau sebaliknya. Perspektif ini hanya menegaskan kepada kita untuk
mempunyai keimanan dalam mempercayai kejadian tersebut. Setidaknya dalam
keimanan tersebut akan menumbuhkan kemantapan jika disertai dengan sebuah
penelitian dan menganalisis peristiwa tersebut.
B. Sebab Turun Al-Qur’an
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman
Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya
selain berdasarkan periwayatan ( pentransmisian) yang benar dari orang-orang
yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat Al Quran, serta tidak mungkin
dapat diketahui dengan jalur ra'yi atau pikiran manusia.
Dalam hal ini al-Wahidi berkata : "Tidak
boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun Al Quran melainkan dengan dasar
riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan
dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya".
Terkadang banyak riwayat mengenai asbabun nuzul suatu
ayat. Seperti berikut :
Mayoritas
Para ulama :
Tidak sepakat mengenai kedudukan asbabun nuzul.
Mayoritas ulama' tidak memberikan keistimewaan khusus kepada ayat - ayat yang
mempunyai asbabun nuzul, karena yang terpenting bagi mereka ialah apa yang
tertera di dalam redaksi ayat. Jumhur ulama' kemudian menetapkan suatu kaidah :
"Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan
sebab".
Minoritas
Para Ulama :
Sedangkan sebagian kecil ulama' memandang penting
keberadaan riwayat - riwayat asbabun nuzul di dalam memahami ayat. Golongan
minoritas ini juga menetapkan suatu kaidah : "Yang dijadikan pegangan
ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal".
Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat - ayat yang
diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafal umum,
maka yang dijadikan pegangan adalah lafal umum.
Comments