Pengertian Mudhorobah dan Jenisnya

A.    PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti bepergian atau berjalan. Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Jadi. Menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, atau bepergian.  Sedangkan, menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut:
1.      Menurut para fuqaha, mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain mempunyai jasa mengelola harta itu.
3.      Pendapat Malikiyah bahwa mudharabah ialah: “Akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
4.      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah : “ akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan”.
5.      Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah akad antara dua belah pihak untuk salah satu salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
Setelah diketahui beberapa pengertian yang dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya dapat dipahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.

B.     DASAR HUKUM MUDHARABAH
Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya ialah sebuah terjemah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Suhaib r.a bahwasanya Rasulullah Saw telah bersabda: “Ada tiga perkara yang diberkati : jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
Diriwayatkan dari Daruquthni bahwa Hakim Ibn Hizam apabila memberi modal kepada seseorang, dia mensyaratkan: “harta jangan digunakan untuk membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa menyeberangi sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu, maka kamu harus bertanggung jawab pafda hartaku.”
Dalam al-Muwaththa Imam Malik, dari al-A’la Ibn Abd al-Rahman Ibn Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia pernah mengerjakan harta utsman r.a sedangkan keuntungannya dibagi dua.
Qiradh atau mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada sejak zaman Rasulullah, beliau tahu dan mengakuinya, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan qiradh, yaitu Muhammad mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a yang kemudian menjadi istri beliau.
  1. RUKUN MUDHARABAH, MACAM-MACAM, DAN SIFATNYA
  1. Rukun mudharabah
Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah adalah ijab dan qobul, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan kepada arti mudharabah. Menurut jumhur ulama, rukun mudharabah ada tiga, yaitu
a.       Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (‘amil/mudharib)
b.      Ma’qud ‘alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntungan, dan
c.       Shighat, yaitu ijab dan qobul
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu :
a.       Modal
b.      Tenaga (pekerjaan)
c.       Keuntungan
d.      Shighat, dan
e.       Aqidain
  1. Macam-Macam Mudhorobah
Mudharabah terbagi menjadi dua bagian yakni mudhorabah muthlaq dan mudharabah muqayyad.
a.       Mudharabah muthlaq adalah akad mudharabah dimana pemilik modal memberikan modal kepada ‘amil (pengelola) tanpa disertai pembatasan (qaid).
b.      Mudharabah muqayyad adalah suatu akad mudharabah di mana pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan-batasan yang berkaitan dengan tempat kegiatan usaha, barang yang menjadi objek usaha, waktu, dan dari siapa barang tersebut dibeli. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad, pembatasan dengan waktu dan orang yang menjadi sumber pembelian barang dibolehkan, sedangkan menurut Malik dan Syafi’i tidak dibolehkan. Demikian pula menyandarkan akad kepada waktu yang akan datang.
  1. Sifat Akad Mudharabah
Para ulama telah sepakat bahwa sebelum dilakukannnya kegiatan usaha oleh pengelola, akad mudharabah sifatnya tidak mengikat (ghair lazim), dan masing-masing pihak boleh membatalkannya. Akan tetapi, mereka (para ulama) berbeda pendapat apabila pengelola (‘amil/mudharib) telah memulai kegiatan usahanya. Menurut Imam Malik, akad mudharabah menjadi akad yang mengikat (lazim) setelah pengelola memulai kegiatan usahanya. Dengan demikian akad tersebut tidak bisa dibatalkan sampai barang-barang dagangan berubah menjadi uang. Disamping itu, akad tersebut juga bisa diwaris. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahamd, meskipun mudharib telah memulai kegiatan usahanya, akad tersebut tetap tidak mengikat (ghair lazim) sehingga setiap saat bisa dibatalkan dan akad tersebut tidak bisa di waris.
Sumber perbedaan pendapat antara kedua kelompok ini adalah Imam Malik menjadikan akad mudharabah sebagai akad yang mengikat, karena apabila akad dibatalkan setelah dimulainya kegiatan usaha maka akan menmbulkan kerugian dipihak mudharib. Sebaliknya, jumhur ulama menyamakan akad sesudah dimulai kegiatan usaha dengan sebelum dimulainya kegiatan. Hal tersebut dikarenakan mudharabah adalah suatu tasarruf terhadap harta milik orang lain dengan persetujuannya.
Akan tetapi, Hanafiah mensyaratkan untuk keabsahan pembatalan dan berakhirnya akad mudharabah, pihak yang lain harus mengetahui tentang fasakh atau batalnya akad mudharabah, dan modal harus berubah menjadi uang. Adapun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, apabila mudahrabah telah fasakh (batal), sedangkan modal masih berbentuk barang-barang, maka berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, boh saja barang-barang dijual atau dibagi, karena mereka berdualah yang memiliki hak untuk itu, bukan orang lain.
  1. SYARAT-SYARAT MUDHARABAH
Untuk keabsahan mudharabah harus dipenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan ‘aqid, modal, dan keuntungan.
1.      Syarat yang berkaitan dengan ‘Aqid
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan’aqid adalah bahwa ‘aqid baik pemilik modal maupun pengelola (mudharib) harus orang yang memiliki kecakapan untuk memberikan kuasa dan melaksanakan wakalah. Hal itu dikarenakan mudharib melakukan tasarruf atas perintah pemilik modal, dan ini mengandung arti pemberian kuasa. Akan tetapi, tidak disyaratkan ‘aqidain harus muslim. Dengan demikian, mudharabah bisa dilaksanakan antara muslim dan dzimmi atau musta’am yang ada di negeri Islam. Disamping itu juga disyaratkan ‘aqidain harus cakap melakukan tasarruf. Oleh karena itu, mudharabah tidak sah dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur, orang gila, atau orang yang dipaksa.
2.      Syarat yang berkaitan dengan modal
Syarat-syarat yang berkaitan dengan modal adalah sebagai berikut:
a.       Modal harus berupa uang tunai, seperti dinar, dirham, rupiah, atau dolar dan sebagainya, sebagaimana halnya yang berlaku dalam syirkah ‘inan. Apabila modal berbentuk barang, baik tetap maupun bergerak, menurut jumhur ulama mudharabah tidak sah. Akan tetapi, Imam Ibnu Abi Layla dan Auza’i membolehkannnya. Alasan jumhur ulama adalah apabila modal mudharabah berupa barang maka akan ada unsur penipuan (gharar), karena dengan demikian keuntungan menjadi tidak jelas ketika akan dibagi, dan hal ini akan menimbulkan perselisihan diantara pemilik modal dan pengelola. Apabila barang tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk modal mudharabah, menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad hukumnya boleh, karena modal sudah bukan barang lagi. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, hal itu tetap tidak diperbolehkan karena dianggap tetap ada ketidakjelasan dalam modal.
b.      Modal harus jelas dan diketahui ukurannya. Apabila modal tidak jelas maka mudharabah tidak sah
c.       Modal harus ada dan tidak boleh berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di majlis akad.
d.      Modal harus diserahkan kepada pengelola, agar dapat digunakan untuk kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan modal tersebut merupakan amanah yang berada di tangan pengelola. Syarat ini disepakati oleh jumhur ulama, yakni Hanafilah, Malikiah, Syafi’iyah, Auza’i, Abu Tsaur, dan Ibnu Al-Mundzir, kecuali Hanabilah.
3.      Syarat yang berkaitan dengan keuntungan
Adapun syarat yang berkaitan dengan keuntungan adalah sebagai berikut:
a.       Keuntungan harus diketahui kadarnya
Tujuan diadakannya akad mudharabah adalah untuk memperoleh keuntungan. Apabila keuntungan tidak jelas maka akibatnya akad mudharabah bisa menjadi fasid. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa (4) ayat 12 yang artinya “Tetapi jika saudara-saudara seibu atau lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”.  Apabila dibuat syarat yang menyebabkan ketidakjelasan dalam keuntungan maka mudharabah menjadi fasid, karena tujuan akad yaitu keuntungan yang tercapai. Akan tetapi jika syarat tersebut tidak menyebabkan keuntungan menjadi tidak jelas maka syarat tersebut batal, tetapi akadnya tetap sah.
Apabila disyaratkan dalam akad mudharabah bahwa keuntungan semuanya untuk mudharib, maka menurut Hanafiyah dan Hanabilah, akad berubah menjadi qardh (utang piutang) bukan mudharabah. Sedangkan menurut Syafi’iyah mudharabah semacam itu adalah mudharabah yang fasid. Menurut Malkiyah, apabila disyaratkan semua keuntungan untuk mudharib maka hal itu dibolehkan, karena ini merupkan tabarru’ atau suka rela.
b.      Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama dengan pembagian secara nisbah atau persentase. Hal ini dikarenakan karakter mudharabah menghendaki keuntungan dimiliki bersama, sedangkan penentuan syarat dengan pembagian yang pasti menghalangi kepemilikan bersama tersebut.
  1. HUKUM MUDHARABAH
Hukum mudharabah ada dua macam yakni mudharabah fasid dan mudharabah shahih.
1.      Mudharabah fasid
Apabila mudharabah fasid karena syarat-syarat yang tidak selaras dengan tujuan mudharabah maka menurut Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mudharib tidak berhak melakukan perbuatan sebagaimana yang dikehendaki oleh mudharabah yang shahih. Disamping itu mudharib tidak berhak memperoleh biaya operasional dan keuntungan yang tertentu, melainkan ia hanya memperoleh upah yang sepadan atas hasil pekerjaannya, baik kegiatan mudharabah tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Hal tersebut dikarenakan mudharabah yang fasid sama dengan ijarah yang fasid.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharib dalam semua hukum mudharabah yang fasid dikembalikan kepada qiradh yang sepadan (qirdh mitsl) dalam keuntungan, kerugian, dan lain-lainnya dalam hal-hal yang bisa dihitung, dan mudharib berhak atas upah yang sepadan (ujrah mitsl) dengan perbuatan yang dilakukannya. Beberapa hal yang menyebabkan dikembalikannya mudharabah yang fasid kepada qiradh mitsl adalah :
a.       Qiradh dengan modal barang bukan uang
b.      Keadaan keuntungan yang tidak jelas
c.       Pembatasan qiradh dengan waktu, seperti satu tahun
d.      Menyandarkan qiradh kepada masa yang akan datang, dan
e.       Mensyaratkan agar pengelola mengganti modal apabila hilang atau rusak tanpa sengaja.
2.      Mudharabah shahih
Mudharabah shahih adalah suatu akad mudharabah yang rukun dan syaratnya terpenuhi. Pembahasan mengenai mudharabah yang shahih ini meliputi beberapa hal yaitu :
a.      Kekuasaan mudharib
Para fuqaha telah sepakat bahwa mudharib adalah pemegang amanah terhadap modal yang ada ditangannya. Dalam hal ini ststusnya hanya wadi’ah (titipan) karena mudharib memegang modal tersebut atas ijin pemiliknya, bukan karena imbalan dalam jual beli, dan bukan pula jaminan seperti halnya dalam gadai (rahn). Apabila mudharib membeli sesuatu maka statusnya sebagai wakil baik menjual maupun membeli. Dan apabila mudharabah fasid karena syarat-syarat yang tidak sesuai dengan tujuan akad maka mudhrabah berubah menjadi ijarah, dan mudharib statusnya sebagi ajir(tenaga kerja), dan dengan demikian ia berak menerima upah yang sepadan.
Apabila mudharib menyimpang dari syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemilik modal, misalnya membeli barang yang dilarang oleh pemilik modal maka ia dianggap sebagai ghasib, dan barang yang dibeli menjadi tanggungannya. Jika pemilik modal mensyaratkan agar pengelola (mudharib) mengganti modal yang hilang atau rusak, menurut Hanafiah dan Hanbilah hukumnya batal, sedangkan akadnya tetap sah. Akan tetapi menurut Syafi’iyah dan Malikiyah mudharabah tersebut hukumnya fasid, karena syarat yang diajukan oleh pemilik modal merupakan syarat yang bertentangan dengan watak (tabi’at) akad mudharabah.
b.      Tasarruf (tindakan hukum) Mudharib
Tasarruf pengelola (mudharib) hukumnya berbeda-beda tergantung pada jenis mudharabah-nya apakah mutlaq atau muqayyad. Mudaharabah mutlaq adalah akad penyerahan modal oleh pemilik modal kepada pengelola secara mudharabah tanpa menentukan jenis usaha, tempat, waktu, sifat, dan orang yang menjadi mitra usahanya. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah akad mudharabah dimana pemilik modal menentukan jenis usaha, waktu, dan lain-lain yang disebutkan diatas.
1.      Dalam mudharabah mutlaq
Apabila mudharabah-nya mutlaq, maka mudharib bebas menentukan jenis usaha yang akan dilakukannya, tempat, dan orang yang akan dijadikan mitra usahnya. Meskipun mudharabah-nya mutlaq, namun ada bebrapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh mudharib, yaitu sebagai berikut :
Ø  Mudharib tidak dibolehkan melakukan sebagian perbuatan kecuali dengan adanya persetujuan yang jelas dari pemilik modal.
Ø  Mudharib tidak boleh membeli barang untuk qiradh yang melebihi modal mudharabah, baik tunai maupun tempo.
Ø  Mudharib tidak boleh melakukan syirkah dengan menggunakan modal mudharabah, atau mencampurkannya dengan hartanya sendiri atau dengan harta orang lain, kecuali apabila diizinkan oleh pemilik modal.
2.      Dalam mudharabah muqayyad
Perbedaan anatara mudharabah mutlaq dan mudharabah muqayyad terletak dalam kadar batas-batas yang ditetapkan, yang berkaitan dengan tempat usaha, barang yang akan menjadi objek usaha, orang yang akan dijadikan mitra usaha, dan waktunya.
Ø  Pembatasan tempat
Ø  Pembatasan mitra usaha
Ø  Pembatasan waktu.
c.       Hak-hak mudharib
Hak-hak mudharib yang diterima sebagai imbalan atas pekerjaannya ada dua macam, yaitu :
1.      Biaya kegiatan
Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah biaya kegiatan selama mengelola harta mudharabah. Menurut Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, mudharib tidak berhak atas nafakah (biaya) yang diambil dari harta mudharabah, baik dalam keadaan ditempat sendiri maupun dalam keadaan perjalanan, kecuali apabila ada izin dari pemilik modal. Menurut Ibrahim An-Nakha’i dan Hasan Al-Bishri, mudharib berhak atas biaya pengelolaan, baik ketika ditempat sendiri maupun dalam perjalanan. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Malik dan Zaidiyah, mudharib berhak menerima biaya pengelolaan ketika dalam perjalanan yang diambil dari harta mudharabah, untuk memenuhi kebutuhannya seperti makan dan pakaian. Menurut Hanabilah, mudharib tidak berhak atas nafakah (biaya pengelolaan), baik ditempat sendiri maupun dalam perjalanan, kecuali apabila disyarakatkan dalam akad.
Zhahiriyah sama pendpatnya dengan Syafi’iyah, mereka mendasarkan pendapatnya kepada atsar yang diriwayatkan dari Abdrrazaq dari Sufyan Tsauri dari Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin ia berkata ; “Apa yang dimakan oleh mudharib maka ia merupakan utang atasnya.”
Nafakah (biaya pengelolaan) yang berhak diterima oleh mudharib dari harta mudharabah, sebagaimana disebutkan oleh Hanafiah adalah belanja untuk kebutuhan rutin, yaitu untuk makan, minum, pakaian, upah tenaga, kerja, sewa penginapan dan lain-lain. Nafakah yang dikeluarkan untuk mudharib diperhitungkan dari keuntungan, jika usahanya menghasilkan keuntungan. Apabila keuntungan tidak diperoleh maka biaya tersebut diambil dari modal mudharabah.
2.      Keuntungan yang disebutkan dalam akad
Mudharib berhak atas keuntungan yang disebutkan dalam akad, sebagai imbalan dari usahanya dalam mudharabah, apabila usahanya memperoleh keuntungan. Keuntungan tersebut akan jelas apabila diadakan pembagian. Untuk pembagian keuntungan ini, disyaratkan modal harus diterima oleh pemilik modal. Alasan yang memperkuat bahwa pemilik modal harus mengambil modalnya sebelum keuntungan dibagi adalah hadits Nabi SAW yang menyatakan : “Perumpamaan seorang mukmin adalah seperti seorang pedagang yang keuntungannya tidak diserahkan kepadanya sehingga modalnya diserahkan. Demikian pula orang mukmin yang tidak diserahkan (dikerjakan) kepadanya sunnahnya sehingga diserahkan (dikerjakan) kewajibannya.”
d.      Hak Pemilik Modal
Apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal berhak atas bagian keuntungan yang disepakati dan ditetapkan dalam akad. Apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib tidak menghasilkan keuntungan maka baik mudhorib maupun pemilik modal tidak memperoleh apa-apa, karena yang kan dibagi tidak ada.
  1. HUKUM PERSELISIHAN ANTARA PEMILIK MODAL DAN MUDHARIB
Antara pemilik modal dan mudharib terkadang terjadi perselisihan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan mudharabah, seperti dalam tasarruf yang umum atau khusus, kerusakan harta, pengembalian modal, kadar keuntungan yang disyaratkan, dan besarnya modal mudharabah.
1.      Perselisihan dalam tasarruf
Apabila perselisihan terjadi dalam tasarruf yang umum atau khusus, maka yang diterima adalah perkataan pihak yang menyatakan tasarruf yang umum karena hal itu sesuai dengan tujuan dilaksanakannya akad mudharabah, yaitu memperoleh keuntungan.
2.      Perselisihan dalam kerusakan harta
Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih dalam kerusakan harta, di mana mudharib mengakuinya tetapi pemilik modal mengingkrinya, atau mereka berselisih di mana pemilik modal menyatakan bahwa kerusakan karena sengaja, tetapi mudharib menyatakan tidak sengaja maka para ulama sepakat yang diterima adalah perkataan mudharib.
3.      Perselisihan dalam pengembalian modal
Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih dalam hal pengembalian modal, di mana mudharib menyatakan sudah dikembalikan, tetapi pemilik modal menyatakan belum maka menurut Hanafiah dan Hanabilah yang dipegang adalah pernyataan pemilik modal. Sedangkan menurut  Malikiyah dan Syafi’iyah dalam qaul yang paling shahih, yang dipegang adalah pernyataan mudharib, karena ia adalah pemegang amanah (al-amin).
4.      Perselisihan dalam besarnya modal
Apabila terjadi perselisihan antara pemilik modal dan mudharib tentang besarnya modal yang diberikan maka menurut kesepakatan para fuqaha, yang diterima adalah pernyataan mudharib.
5.      Perselisihan dalam kadar (besarnya) keuntungan
Apabila pemilik modal dan mudharib berselisih tentang besarnya keuntungan yang ditetapkan dalam akad maka menurut Hanafiah dan pendapat yang rajih dari Hanabilah, yang diterima adalah ucapan pemilik modal. Sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dan diriwayatkan dari Baihaqi, yakni dari hadits Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih: Keterangan (saksi) adalah hak penuntut, sedangkan sumpah merupakan hak orang yang ingkar.”
Menurut Malikiyah dalam kasus perselisihan mengenai besarnya keuntungan, yang diterima adalah ucapan mudharib disertai dengan sumpahnya, karena ia statusnya sebagai orang yang dipercaya (amin), dengan syarat :
a.       Tindakan sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudharabah
b.      Harta masih dipegang oleh mudharib.
Menurut Syafi’iyah, apabila dua pihak berselisih tentang besarnya bagian keuntungan untuk mudharib maka keduanya bersumpah, seperti bersumpahnya penjual dan pembeli dalam kadar harga barang. Akan tetapi, akad mudharabah tidak bisa fasakh dengan cara bersumpah, melainkan harus dengan tindakan pembatalan oleh kedua belah pihak, atau salah satunya atau oleh hakim.
6.      Perselisihan dalam sifat
Ulama Hanafiah dan Hanabilah berpendapat bahwa apabila dua pihak berselisih mengenai sifat modal, maka yang diterima adalah pernyataan pemilik modal. Hal tersebut dikarenakan harta yang diberikan itu adalah miliknya, dan pernyataan yang diterima dan diakui berkaitan dengan keluarnya harta itu dari tangannya adalah pernyataan si pemilik harta itu.

G.    KEDUDUKAN MUDHARABAH
Hukum mudharabah berbeda-beda karena adanya perbedaan-perbedaan keadaan. Maka, kedudukan harta yang dijadikan modal dalam mudharabah atau qiradh juga tergantung pada keadaan.
Karena pengelolaan modal perdagangan mengelola modal tersebut atas izin pemilik harta, maka pengelola modal merupakan wakil pemilik barang tersebut dalam pengelolaannya, dan kedudukan modal adalah sebagai wikalah’alaih (objek wakalah).
Ketika harta ditasharuffkan oleh pengelola, harta tersebut berada dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya, sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat (titipan). Apabila harta itu rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia wajib menanggungnya.
Ditinjau dari segi akad, mudharabah terdiri atas dua pihak. Bila ada keuntungan dalam pengelolaan uang, laba itu dibagi dua dengan persentase yang telah disepakati. Karena bersama-bersama dalam keuntungan, maka mudharabah juga sebagai syirkah.
Ditinjau dari segi keuntungan yang diterima oleh pengelola harta, pengelola mengambil upah sebagai bayaran dari tenaga yang dikeluarkan , sehingga mudharabah dianggap sebagai ijarah (upah-mengupah atau sewa menyewa).
Apabila pengelola modal mengingkari ketentuan-ketentuan mudharabah yang telah dispakati dua belah pihak, maka telah terjadi kecacatan dalam mudharabah. Kecacatan yang terjadi menyebabkan pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap ghasab.
H.    BIAYA PENGELOLAAN MUDHARABAH
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri selama ia tinggal di lingkungan (daerahnya) sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjakanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta (modal) tidak memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau bahkan lebih besar daripada keuntungan.
Namun, jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya di tengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan modal mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa biaya-biaya baru boleh dibebankan kepada modal, apabila modalnya cukup besar sehingga masih memungkinkan mendatangkan keuntungan-keuntungan.
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya dibebankan kepada pengelola modal, namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan. Menurut Imam Malik, menggunakan modal pun boleh apabila modalnya besar sehingga memungkinkan memperoleh keuntungan berikutnya.
I.       BATASAN KEWENANGAN MUDHARIB
Jika akad mudharabah berupa mudharabah muthlaqah, maka mudharib memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan bisnis apa saja, dimana, kapan, dan dengan siapa saja. Karena maksud dari mudharabah adalah mendapatkan keuntungan, dan tidak akan didapatkan tanpa dengan melakukan transaksi bisnis.
Mudharib diperbolehkan menitipkan aset mudharabah kepada pihak lain (bank, misalnya), karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia juga memiliki hak untuk merekrut karyawan guna menjalankan bisnis, seperti halnya sewa gudang, alat transportasi dan lainnya yang mendukung operasional bisnis untuk mendapatkan keuntungan.
Namun demikian, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan mudharib. Ia tidak boleh melakukan withdraw (berhutang) atas aset mudharabah tanpa izin dari shahibul mal, karena hal itu akan menambah tanggungan shahibul mal. Jika shahibul mal membolehkan, maka penarikan itu menjadi hutang pribadi mudharib yang harus dibayar.
Mudharib juga tidak boleh membeli aset dengan cara berhutang, walaupun mendapatakan izin dari shahibul mal. Jika mudharib tetap melakukannya, maka ia harus menanggung beban hutang itu. Namun, jika terdapat keuntungan akan menjadi milik penuh mudharib. Shahibul mal tidak berhak apapun, karena ia tidak ikut menanggung resiko.
Mudharib tidak diperbolehkan menginvestasikan aset mudharabah kepada orang lain dengan akad mudharabah, melainkan akad syirkah, dicampur dengan harta pribadi atau harta orang lain, kecuali mendapatkan kebebasan penuh dari shahibul mal. Dengan adanya transaksi ini, maka akan terdapat hak orang lain atas asset shahibul mal, sehingga tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan kesepakatan dari shahibul mal.
J.      MUDHARABAH PARAREL
Menurut Hanafiyah, mudharib tidak diperbolehkan menyerahkan asset mudharabah kepada orang lain tanpa mendapatkan kesempatan shahibul mal, baik hanya sebagai titipan atau diberdayakan oleh pihak ketiga ( mudharib kedua ). Jika aset yang diterima mudharib kedua hanya sebagai titipan, maka mudharib pertama tidak berkewajiban menanggung resiko yang ada, karena hanya diposisikan sebagai wadi’ah.
Namun, jika mudharib pertama menyerahkan aset mudharabah kepada mudharib kedua dengan maksud investasi, maka mudharib pertama memiliki tanggung jawab penuh terhadap shahibul mal. Menurut Zafar, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah, baik hanya sebagai titipan atau investasi, seperti halnya ketika kita menitipkan titipan kita kepada orang lain.
Menurut Imam ash Shahiban, jika penyerahan aset itu dimaksudkan untuk investasi, dan digunakan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis, maka mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas aset mudharabah. Dengan alasan, mudharib kedua menggunakan aset tanpa izin pemiliknya. Jika mudharib kedua menggunakan aset tersebut, shahibul mal memiliki dua opsi, tanggung jawab resiko aset itu dibebankan kepada mudharib pertama atau kedua, menurut pendapat yang shahih dari Hanafiyah, mudharib pertama bertanggung jawab penuh atas resiko aset yang diberikan mudharib kedua untuk menjalankan bisnis.
Jika terdapat keuntungan dalam mudharabah paralel ini, akan dibagi sesuai kesepakatan mudharabah pertama (antara shahibul mal dan mudharib pertama). Bagian keuntungan mudharib pertama, akan dibagi dengan mudharib kedua sesuai kesepakatan dalam akad mudharabah kedua. Ulama 4 madzhab sepakat bahwa resiko mudharabah paralel ditanggung oleh mudharib pertama.
  1. HAK MUDHARIB  
Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah dan keuntungan yang disepakatai dalam akad. Ulama berbeda pendapat tentang hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika di rumah atau dalam perjalanan.
Menurut Imam Syafii, mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan pribadinya dari aset mudharabah, baik di rumah atau dalam perjalanan. Karena, mudharib kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi sama nominalnya dengan bagian keuntungan, dan mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad mudharabah fasid hukumnya.
Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan atau pun pakaian. Madzhab Hanabalah memberikan keleluasaan, mudharib berhak mendapatkan nafkah pribadi, baik di rumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam akad.
Menurut Hanafiyah, mudharib berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi ; makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan, sewa rumah, listrik, telepon, transportasi, upah, cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter. Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus disesuaikan dengan yang berlaku di khalayak umum.
Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib akan dikurangkan dari keuntungan, namun jika tidak ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul mal, dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika ia kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus dikembalikan dan dihitung kembali sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi, maka akan menjadi hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.
Selain itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan apapun. Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul mal secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan, akan dibagi sesuai kesepakatan.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan. Akan tetapi, mayoritas ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul mal, dan ia tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul mal. Jika masih terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.
  1. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN MUDHARABAH
Mudharabah dapat batal karena beberapa hal sebagai berikut:
1.      Pembatalan, larangan tasarruf, dan pemecatan
Mudharabah dapat batal karena dibatalkan oleh para pihak, dihentikan kegiatannya, atau diberhentikan oleh pemilik modal. Hal ini apabila terdapat syarat pembatalan dan penghentian kegiatan atau pemecatan tersebut, yaitu sebagai berikut.
a.       Pihak yang bersangkutan (mudharib) mengetahui pembatalan dan penghentian kegiatan tersebut. Apabila mudharib tidak tahu tentang pembatalan dan pemecatannya, lalu ia melakukan tasarruf maka tasarruf-nya hukumnya sah.
b.      Pada saat pembatalan dan penghentian kegiatan usaha atau pemecatan tersebut, modal harus dalam keadaan tunai sehingga jelas ada atau tidak adanya keuntungan yang menjadi milik bersama antara pemilik modal dan mudharib. Apabila modal masih berbentuk barang maka pemberhentian hukumnya tidak sah.
2.      Meninggalnya salah satu pihak
Apabila salah satu pihak baik pemilik modal maupun mudharib meninggal dunia, maka menurut jumhur ulama, mudharabah menjadi batal. Sedangkan menurut Malikiyah, mudharabah tidak batal karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Dalam hal ini apabila yang meninggal itu mudharib maka ahli warisnya bisa menggantikan untuk kegiatan usahanya, jika mereka itu orang yang dapat dipercaya.
3.      Salah satu pihak terserang penyakit gila
Menurut jumhur ulama selain Syafi’iyah, apabila salah satu pihak terserang penyakit gila yang terus-menerus, maka mudaharabah menjadi batal. Hal ini dikarenakan gila menghilangkan kecakapan (ahliyah).
4.      Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari Islam), lalu ia meninggal, atau dihukum mati karena riddah, atau ia berpindah ke negeri yang buka Islam (dar al-harb) maka mudharabah menjadi batal semenjak keluar dari Islam, menurut Abu Hanifah. Akan tetapi apabila mudharib yang murtad maka akad mudharabah tetap berlaku karena ia memiliki kecakapan (ahliyah).
5.      Harta mudharabah rusak ditangan mudharib
Apabila modal rusak atau hilang di tangan mudharib sebelum ia membeli sesuatu  maka mudharabah menjadi batal. Demikian pula halnya, mudharabah dianggap batal, apabila modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak ada sedikitpun untuk dibelanjakan.

Comments