Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap UU NO.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Tulisan ini berisi lima poin
pembahasan, yaitu: pendahuluan, teori hukum feminis dan UU no.1 tahun 1974
tentang perkawinan, kritik teori hukum feminis terhadap UU no.1 tahun 1974
tentang perkawinan, langkah-langkah membebaskan budaya patriarkhisme, dan
penutup.
Didalam pendahuluan
dijelaskan tentang posisi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dijelaskan dalam
surat an-Nahl (16): 97 dan al-A’raf (7): 22 dan 172. Laki-laki dan perempuan
adalah sama dihadapan Tuhan kecuali tingkat ketaqwaannya. Bukan hanya ada dalam
al Qur’an, namun dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
1948 juga dijelaskan bahwa hak dan kebebasan sangat perlu dimiliki oleh setiap
orang tanpa diskriminasi, antara laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang
sama[2].
Ironisnya
fakta sejarah maupun keadaan saat ini berkebalikan. Posisi perempuan kerap kali
masih direndahkan atau berada dibawah laki-laki. Implikasi yang ditimbulkan
bermacam-macam, seperti ketidakadilan dalam masyarakat, marginalisasi
(pembatasan), subordinasi (kedudukan bawahan), stereotip (penyifatan yang tidak
tepat) dan lain sebagainya. Dengan kondisi rill seperti
itu, wajar apabila status peran perempuan dinilai lebih buruk, khususnya dalam
hal ketidakadilan di bidang perkawinan (keluarga)[3]. Hal
tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor, misalnya, masyarakat kita yang
masih sangat kuat menganut nilai-nilai budaya patriarkhis (perilaku
mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok social
tertentu), serta masih adanya UU atau hukum nasional bias gender yang belum
memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan, seperti UUP. Misalnya,
dalam Pasal 3-4 dan 5 UUP, terlihat bahwa UUP terkesan pro-poligami. Semua
alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif
kepentingan suami, sama sekali tidak mempertimbangkan perspektif kepentingan
istri.
Poin
kedua mengemukakan tentang teori hukum feminis dan UU No. 1 tahun 1974 tentang
pernikahan. Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (FLT) muncul
pertama pada tahun 1970, sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan
terhadap berlakunya hukum terhadap kaum perempuan dan diskriminasi yang didapat
perempuan dari hukum. Para feminis meyakini bahwa sejarah ditulis melalui sudut
pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan kaum perempuan
dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Kemudian berkembang berbagai gerakan
feminis, yaitu: Feminist Traditional, Liberal, Marxis, Sosiologis dan Feminist
Radikal[4].
Banyak
kalangan atau para ilmuan yang berpendapat bahwa diperlukan pembacaan ulang bahkan
revisi terhadap UUP karena sebagian isinya tidak lagi mengakomodasikan
kebutuhan masyarakat Indonesia yang semakin kritis (tajam dalam penganalisisan),
pluralis (keadaan masyarakat yang majemuk), dan dinamis (bergerak cepat dan
mudah menyesuaikan dengan keadaan dan sebagainya), serta kepentingan untuk
membangun masyarakat yang egaliter (bersifat sama/sederajat), demokratis dan menjunjung
tinggi nila-nilai HAM[5].
Poin
ketiga mengutarakan kritik Teori Hukum Feminis terhadap UU No. 1 tahun 1974
tentang pernikahan. Sejak UUP disahkan, banyak kalangan yang menilai kalau UU
tersebut masih timpang. Ketimpangan-ketimpangan itu antara lain, dapat
ditemukan pada pasal-pasal yang membicarakan persoalan poligami. Ketentuan poligami
diatur dalam Pasal 4 ayat (2) butir a, b dan c, dan Pasal 5 ayat (1) butir, a,
b dan c, UUP tahun 1974. Dan ada juga Pasal 59 KHI. Pasal tersebut
(pasal 59 KHI) jelas mengindikasikan
betapa lemahnya posisi perempuan atau istri. Sebab, manakala istri menolak
memberikan persetujuannya, Pengadilan Agama dengan serta merta mengambil alih kedudukannya
sebagai pemberi izin, meskipun di akhir pasal tersebut ada klausul yang
memberikan kesempatan pada istri untuk mengajukan banding. Namun pada umumnya para
istri merasa malu dan berat hati untuk mengajukan banding atas keputusan
pengadilan menyangkut perkara poligami, apalagi seorang perempuan tersebut
berada di daerah pedalaman yang sangat awam terhadap pendidikan. Selain pasal
tersebut masih banyak isu-isu dalam UUP yang terkesan bias gender dan perlu
diperbarui. Misalanya; peran wali bagi kaum perempuan dalam perkawinan; pembatasan
hak cerai suami; hak-hak suami isteri setelah perceraian; kehamilan dan
implikasinya; hak ijbar orang tua, pembagian dan jumlah hak waris dan lain
sebagainya.
Kaum
feminis berpendapat, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan masih
menjadi bagian dalam kehidupan perempuan di Indonesia. Hukum memang bias gender
karena latar belakang pemikiran, pengalaman dan cara pandang pencetusnya yang
sebagian besar menggunakan nilai-nila “maskulin” sebagai acuannya. Dalam
pembentukan atau perumusan peraturan perundang-undangan hal itu tidak lepas
dari adanya unsur politik dalam proses legislasi yang dipengaruhi oleh pola
pikir yang dominan. Hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh paradigm patriarkhisme
hukum yang melakukan diskriminasi terhadap kaum
perempuan, tidak terkecuali UUP.
Poin
keempat menjelaskan tentang langkah-langkah membebaskan budaya patriarkhisme. Sejumlah
kajian mengenai HAM menjelaskan bahwa hambatan pertama dalam menguatkan hak-hak
kaum perempuan adalah faktor budaya. Para pakar menawarkan sejumlah solusi atau
langkah-langkah[6].
Pertama, membangun kesadaran bersama di masyarakat akan pentingnya
penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Bahwa manusia adalah sama dihadapan tuhan kecuali kwalitas ketaqwaannya[7]. Kedua,
mensosialisasikan budaya kesetaraan sejak di rumah tangga serta di masyarakat
melalui metode pembelajaran yang demokratis pada lembaga-lembaga pendidikan,
baik formal maupun non formal. Ketiga, melakukan dekonstruksi terhadap
ajaran dan interpretasi agama yang bias gender dan patriarkhis, menyebarkan
ajaran agama yang apresiatif dan ekomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi,
dan nilai-nilai kedamaian. Keempat, merevisi semua peraturan dan
perundang-undangan yang tidak kondusif bagi upaya penegakan dan perlindungan
HAM, seperti UU Pendidikan Nasional, UUP, UU Ketenagakerjaan, UU Kewarganegaraan,
UU Perbankan, UU Imigrasi, dll. Selain itu, merumuskan peraturan perundang-undangan
yang baru yang menakomodasikan upaya-upaya membangun civil societyi yang
kuat dan mandiri, seperti UU Anti traffikicking, UU Anti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, UU Catatan Sipil, UU Jaminan Sosial dan seterusnya.
Poin
yang terakhir atau kelima adalah penutup. Dari uraian diatas terlihat betapa
UU. No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 4 ayat (2) butir a, b
dan c, dan Pasal 5
ayat (1) butir, a, b dan c, belum
mengakomodasi nilai-nilai keadilan gender serta tidak mempertimbangkan
perspektif HAM kaum perempuan (istri), ketentuan tersebut hanya dilihat dari
perspektif kepentingan suami saja. Dengan demikian masih terjadi
kesewenangwenangan
pihak suami terhadap perempuan
(istri) bahkan pihak penegak hukum itu sendiri. Pasal ini jelas sekali
mengindikasikan betapa lemahnya posisi kaum perempuan (istri). Ketentuan dalam
Pasal 4 tersebut sama sekali tidak mewadahi tuntunan Allah sebagaimana terdapat
dalam Q.S. 4: [19]. Dalam konteks Indonesia, poligami dipandang sebagai
kejahatan kemanusiaan (crime against hummanity). Segala macam bentuk
ketidak-adilan yang dialami oleh istri adalah pelanggaran HAM. Oleh sebab itu,
segala macam faktor penghambat tidak terpenuhinya hak-hak kaum perempuan
(istri) wajib dihapuskan.
Kaitannya
denga pancasila adalah bahwa keadilan atau kesetaraan gender juga dijelaskan
atau digambarkan dalam dasar Negara Indonesia yaitu pancasila, dalam sila
ke-dua yang berbunyi “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Di dalam sila
ke-dua ini jelas bahwasanya Negara tidak memandang jenis kelamin dalam
keadilan. Semua warga Negara adalah sama dihadapan hukum dan berhak mendapatkan
keadilan. Tidak ada deskriminasi antara laki-laki dan perempuan.
[1]
Habib Shulton Asnawi, jurnal Al-Ahwal UIN Sunan Kalijaga, Vol. 4, No.1, 2011.
ejournal.uin-suka.ac.id
[2]
Saparinah Sadli, Hak Asai Perempuan Adalah Hak Asasi, Dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk
Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, (Jakarta:
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Uiniversitas Indonesia Jakarta, 2000), h. 1.
[3]
Penjelasan tentang jenis-jenis ketidak-adilan yang banyak dialami kaum
perempuan ini;
lihat, Mansour Faqih, Analsis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 12-23.
[4]
Dian Ferricha, Sosiologi Hukum Dan Gender: Interaksi Perempuan Dalam Dinamika
Norma dan Sosio-Ekonomi, h. 114-142. Lihat juga, Niken Savitri, HAM Perempuan,
h. 28.
[5]
Siti Musdah Mulia, Islam Dan Gender “Kesetaraan Gender”, (Yogyakarta:
Kibar Press, 2006), h. 174.
[6]
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, h. 148.
[7]
Lihat Q. S. al-Hujurat [49] : ان اكرمكم عندالله اتقكم
. 13 Artinya “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.
Comments