Perkembangan Hukum Islam dan Adat Masa Pasca Kemerdekaan Indonesia

       Perubahan dari status negara jajahan kepada negara berdaulat tidak secara otomatis membawa arus perubahan yang langsung dan menyeluruh dalam bidang hukum di Republik indonesia. Pada saat dibacakannya naskah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, kehidupan hukum di Indonesia secara esensial tidak terlalu berbeda dengan hukum yang ada pada masa kedudukan Jepang di Jawa. Oleh karenanya,setiap strategi yang dimunculkan untuk revolusi sosial bahkan perubahan sosial sangat sukar ditemukan pada saat itu.
Bersesuaian dengan keadaan ini adalah Aturan Peralihan Pasal 2 dari Undang Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa  “Semua Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku ,selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini”. Contoh dari hal ini dapat dikemukakan kenyataan bahwa Wetboek van Strafrecht, yang dikeluarkan pada tahun 1984, tetap berlanjut keberlakuannya untuk mengatur hukum pidana di Indonesia, kecuali dibeberapa daerah di luar Jawa yang mana pengadilan adat masih berjalan. Untuk beberapa wilayah di luar Jawa tersebut hanya beberapa paasal undang undang yang diwarisi dari  Belanda diaplikasikan melalui ketentuan ketentuan dalam Undang Undang No. 80 Tahun 1932.
Persoalan-persoalan Hukum pada Masa Kemerdekaan Indonesia
Terdiri dari tidak kurang 7.900 pulau, Kepulauan indonesia dihuni oleh berbagai kelompok yang masing masing selalu mempertahankan adat dan pandangan hidup mereka. Beberapa kelompok masih mempertahankan aturan pemerintahan penjajah Belanda:
1.      Hukum hukum yang mengatur semua penduduk
2.      Hukum hukum adat yang berlaku untuk orang Indonesia asli
3.      Hukum Islam yang berlaku untuk semua orang islam di indonesia
4.      Hukum islam yang berlaku untuk masyarakat tertentu di Indonesia
5.      Burgelijik wetbok van koophandel.
Dengan semangat untuk meruntuhkan kekuatan kolonial dan membangun kedaulatan nasional,para pemimpin baru cenderung untuk memandang hukum secara esensial sebagai suatu organ “rasional-legal” dari suatu negara.
Kontroversi –kontrofersi hukum tak terelakan lagi muncul dalam dua kelompok besar yang saling bertentangan  yaitu kelompok “pluralis” melawan “univormis”, dan kelompok “sekuler nasionalis” melawan “muslim”. Pada kelompok pertama ,perdebatan terpusat pada permasalahan unifikasi hukum dan pluralisme hukum dalam hubungannya dengan hukum adat,sementara kelompok kedua fokus diskusinya adalah mengenai hukum islam.
1. Pluralisme vs Uniformisme
Para pemimpin Indonesia pada masa awal kemerdekaan boleh jadi tidak cenderung kepada bentuk bentuk inovasi politik atau sosial yang radikal,namun mereka tetap terikat untuk mewujudkan kebersatuan bangsa. Menurut mereka dengan unifikasi hukum Indonesia akan dapat dipercepat menuju modernisasi. Pada kenyataannya, bertali berkelindan dengan kebutuhan akan modernisasi ini adalah kebutuhan lain dari para pemimpin nasional untuk menyingkirkan spirit hukum kolonial. Dengan “persamaan di hadapan hukum” sebagai semboyannya. Sistem-sistem hukum yang ada begitu erat hubungannya dengan kepercayaan agama dan sifat-sifat kultural sehingga usaha-usaha yang dilakukan ke arah unifikasi hukum tidak dapat efektif. Sebagai konsekuensinya, unifikasi hukum pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia terbukti tidak dapat begitu saja direalisasikan. Suatu fakta yang menunjukkan kekukuhan bentuk pluralisme hukum sebagaimana yang diwariskan dari pemerintah kolonial Belanda. Unifikasi hukum, pada kenyataannya, merupakan isu yang pertama kali dimunculkan oleh para pemimpin republik yang ingin menghilangkan hukum kolonial. Kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi pada dasarnya merupakan konsekuensi, tidak hanya karena pluralitas tetapi juga karena fakta bahwa sistem judisial modern sebagaimana yang didefinisikan oleh pranata-pranata kolonial, telah berurat berakar dalam masyarakat. Hal ini tentu tidak begitu mengejutkan mengingat fakta bahwa para ahli hukum dahulunya belajar kepada guru-guru Belanda, dan begitu terkesan dengan pemahaman hukum Belanda.
Namun demikian, karena revolusi mendorong kekuatan nasional untuk meruntuhkan kekuatan kolonial dalam semua bentuknya, ide hukum nasional yang terunifikasi semakin mendapatkan sambutan. Sebagaimana yang telah diduga sebelumnya, langkah dekolonialisasi dan nasionalisasi hukum di Indonesia ini harus melahirkan konsekuensi yang menyakitkan bagi lembaga hukum adat. Khususnya di luar Jawa, runtuhan pengadilan-pengadilan adat terus berlangsung secara pelan-pelan tapi pasti, seiring dengan mobilisasi sosial yang mendorong ekspansi institusi-institusi nasioanl. Berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa dimana pranata-pranata administrasi masyarakat secara relatif telah terbiasa dengan bentuk unifikasi, di luar Jawa iklim politik dalam keadaan sedemikian rupa sehingga gerakan unifikasi tersebut terbukti problematik. Penjelasan dari undang-undang no. 7 pada tanggal 27 Februari 1947 jelas merefleksikan keyakinan pemerintah bahwa sistem peradilan yang terunifikasikan merupakan jalan pembuka menuju kepersatuan bangsa. Pada tanggal 29 Agustus 1947, undang-undang no. 23 dikeluarkan dengan secara ekpresif menghapuskan pengadilan adat dari daerah otonomi Jawa dan Sumatera.
Modifikasi lebih lanjut terhadap program unifikasi ini ditandai dengan keluarnya undang-undang baru pada bulan Juni 1948. Karena kembalinya kekuasaan tentara Belanda di Indonesia, undang-undang ini tidak pernah diperlakukan,meskipun demikian ide tentang sistem peradilan yang terunifikasi telah mengakar dalam masyarakat. Undang-undang No.19 Tahun 1948 tersebut hanya mengakui tiga bentuk pengadilan negeri ,yaitu, umum, administrasi, dan  militer. Dalam peradilan umum, hanya terdapat tiga tingkat peradilan ,yaitu (1) Pengadilan Negeri (peradilan tingkat pertama), (2) Pengadilan Tinggi (tingkat banding) dan Mahkamah Agung (peradilan tertinggi).
Dalam hal pengadilan adat, Pasal 10 dari Undang-Undang Tahun 1948 menentukan bahwa otoritas hukum penduduk dalam suatu daerah diperbolehkan untuk dilanjutkan menengahi beberapa konflik dan kejahatan yang mencangkup “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Situasi ini masih tetap tidak berubah hingga munculnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949. Kemudian  pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS berakhir. Dengan kedaulatan penuh, usaha untuk meluaskan jurisdiksi lembaga-lembaga nasional semakin diintensifkan di seluruh Indonesia. Unifikasi hukum pada kenyataannya kemudian dipahami tidak hanya sebagai suatau bentuk argumentasi sosial atau juridis semata ,tetapi juga sebagai sisi lain dari dua sisi koin kekuasaan politik yang tersentralisasi ,sementara hukum adat yang sejak awalnya bersifat plural. menjadi simbol dari pertahanan otonomi daerah; memang, karena simbol inilah maka hukum adat tak dapat dipungkiri menjadi pihak yang dicurigai. Ketetapan MPRS, No. II/MPRS/1960 secara eksplisit mengidentifikasikan hukum adat sebagai sumber pembangunan dan elaborasi hukum di Indonesia
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan pergeseran dalam pemerintahan dari Soekarno kepada apa yang disebut dengan administrasi “Orde Baru” tahun 1966. Jika hukum sebelumnya diartikan sebagai “Hukum sebagai alat revolusi”, maka hukum pada masa era baru ini diasumsikan mempunyai peran yang baru sebagai “hukum untuk pembangunan”. Dengan situasi semacam ini, maka artikulasi hukum difungsikan sebagai alat rekayasa sosial, suatu ide yang mendapatkan popularitas dengan begitu cepatnya. Ide ini sesungguhnya pertama kali diajukan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Model hukum Kusumaatmadja-lah yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap peran baru hukum sebagai roda modernisasi dalam era Orde Baru ini. Didukung oleh kekuasaan eksekutif,ide-ide  Kusumaatmadja ini cukup berhasil untuk meredam pertengkaran antara kelompok pluralis dan uniformis. Karena perhatian utama dari Orde Baru adalah untuk meningkatkan ekonomi.
Apa yang penting untuk dicatat mengenai fenomena baru ini adalah bahwa hukum sekarang telah menjadi alat kontrol sosial pemerintah. Dengan hukum yang sepenuhnya berada di tangan pemerintah, maka tuntutan yang diajukan oleh kelompok-kelompok pro-adat,yang berargumen bahwa hukum tidak seharusnya datang dari kekuasaan negara,tetapi harus lahir dari masyarakat bawah. Semakin tidak terdengar kelompok pluralis oleh karenanya semakin kehilangan argumentasi filosofisnya. Lebih buruk lagi ,posisi yang kurang menguntungkan dari hukum adat itu kemudian di perparah dengan semakin berkurangnya para ahli hukum adat yang mampu memberikan id-ide yang segar tentang bagaimana seharusnya peran adat pada era modern Indonesia. Pada akhirnya ,hukum adat semakin menghilang seiring dengan kemunculan institusi hukum sebagai organ pemerintah Orde Baru.
2. Harta Bersama Dalam Perkawinan
Dalam hukum adat harta benda yang dimiliki oleh suami dan istri dapat dibedakan menjadi dua kategori yang umum : (1) harta benda yang diperoleh sebelum perkawinan; dan (2) harta benda yang didapat setelah atau selama perkawinan. Kategori ini diakui dalam hukum perkawinan yang membahas harta benda, utamanya pasal 35 hingga 37 dari undang-undang no. 1 tahun 1974. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan dimiliki secara bersama oleh kedua suami dan istri, tidak pernah dipertanyakan apakah suami atau istri secara bersamaan yang memperoleh harta benda tersebut, karena sepanjang keduanya masih dalam ikatan perkawinan, mereka mempunyai hak yang sama terhadap harta benda tersebut. Oleh karenanya ketika terjadi pembubaran ikatan perkawinan, kedua pihak juga akan mendapatkan hak yang sama terhadap harta benda. Dari sisi hukum islam, baik ahli hukum kelompok Syafi’iyah (sebagai paham hukum yang paling banyak diikuti oleh ulama Indonesia), maupun para ahli hukum lainnya yang mewakili madzhab-madzhab lain, tidak ada satupun yang sudah membahas topik tentang harta bersama dalam perkawinan ini sebagaimana yang dipahami oleh hukum adat.
Ahli hukum yang terkenal dari kelompok hanbaliyah, ibnu ta’imiyah, berkata bahwa sebagian besar ahli hukum setuju bahwa terdapat dua bentuk treansaksi syirkat: kerjasama dalam kepemilikan (syirkah al amlak) dan kerjasama dalam hal kontrak (syirka al ukud); tetapi kedua bentuk ini, dalam pandangan ubnu ta’imiyah, pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan. sejalan dengan prinsip-prinsip harta bersama dalam perkawinan yang dirumuskan oleh hukum adat. Perbedaan yang mencolok antara keduanya hanya terletak pada fokusnya saja: sementara kerjasama dalam kepemilikan harta sebagaimana yang dipahami oleh ibnu ta’imiyah bersifat ekonomi atau bisnis, institusi harta bersama dalam pengertian adat tidak dapat dipisahkan dari institusi sosial perkawinan.
Peraturan yang paling baru berkenaan dengan kerjasama dalam perkawinan ini dapat ditemukan dalam Bab XIII Kompilasi Hukum Islam tentang Harta Benda dalam Perkawinan. Aturan-aturan tersebut menunjukkan usaha-usaha yang ditunjukkan oleh para eksponen di Indonesia untuk mengakomodasikan hukum islam dan hukum adat. Karena sebagian besar buku tentang fiqih tidak menjelaskan institusi harta bersama dalam perkawinan, yang merupakan institusi yang sudah lama berurat dan hidup dalam masyarakat setempat, para ulama merasa berkewajiban untuk memasukkan institusi masyarakat ini kedalam hukum islam.
3. Wasiat Wajib (wasiyyah wajibah)
Secara umum disebut sebagai “ayat wasiat”, surah 2, ayat 180 dari qur’an memerintahkan orang islam untuk membuat wasiat yang dibagikan kepada orangtua dan sanak keluarga yang dekat. Dalam pandangan ibn hazm, ayat wasiat ini menentukan suatu kewajiban hukum yang defintif bagi orang Islam untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada kerabat dekat yang bukan menjadi ahli waris. Jika orang yang meninggal gagal untuk memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus membuatkan wasiat atas namanya.
Suatu interpretasi baru diajukan untuk pertama kali oleh para ahli hukum Mesir, pada tahun 1946, yang menspesifikkan bahwa saudara dekat yang akan menerima warisan wajib yaitu kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu (cucu yatim). Spesifikasi ini berdasar pada suatu premis bahwa anak-anak dari anak laki-laki atau perempuan yang telah mendahului meninggal dari si pewaris adalah kerabat yang masih hidup yang menjadi tanggung jawab bagi pewaris.
Bentuk-bentuk reformasi terhadap hukum kewarisan mengenai institusi wasiat wajib dapat dilihat dalam pasal 209 dari kompilasi hukum islam. Berbeda dengan para ahli hukum islam pada umumnya, yang mengidentifikasikan cucu yatim sebagai penerima wasiat wajib, para ahli hukum islam Indonesia, memlalui kompilasi, telah menggunakan wasiat wajib untuk memperbolehkan anak angkat dan orangtua angkat mengajukan klaim atas bagian tertentu dalam warisan. Pasal 209 kompilasi tersebut menetukan bahwa anak angkat dan orangtua angkat adalah penerima wasiat wajib dengan maksimum penerimaan sepertiga dari harta warisan.
Sesuai dengan hukum adat, umum dilakukan oleh keluarga Indonesia untuk mengadopsi aeorang anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukkan kedalam lingkungan keluarga mereka. Dalam masyarakat yang patrilinieal seperti masyarakt Batak, di Sumatera Utara, atau dalam mayarakat Matrilineal Minangkabau, di Sumatera Barat, lembaga adopsi sering dihubungkan dengan dominasi “politis” dari ayah atau ibu dalam keluarga. Di antara orang Batak misalnya, adat masyarakat mengizinkan suatu keluarga untuk mengadopsi seorang anak laki-laki tetapi tidak seorang anak perempuan, dalam rangka untuk menjaga bentuk patrilineal masyarakat tersebut. Setelah mendapat izin dari orangtua asli si anak, anak angkat tersebut kemudian secara genealogis dimasukkan kedalam keluarga ayah angkat dan mendapatkan semua hak hukum anak sah. Dalam masyarakat dimana kedua orangtua mempunyai kedudukan huykum yang sama (parental), misalnya di Jawa, adopsi diperbolehkan tidak hanya untuk anak laki-laki, tetap juga untuk anak perempuan, dengan konsekuensi hukum bahwa si anak tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, akan memperoleh hak yang sama dihadapan hukum sebagaimana anak sah. Beberapa bentuk karakteristik umum dari adopsi yang didukung oleh hukuk adat muncul: yaitu, (1) bahwa anak angkat secara otomatis dimasukkan kedalam lingkungam keluarga orangtua angkat, (2) bahwa hubungan hukum antara anak angkat dengan orangtua asli terputus, (3) bahwa posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan anak asli.

Comments