Bersesuaian dengan keadaan ini adalah Aturan Peralihan Pasal 2 dari Undang Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa “Semua Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku ,selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini”. Contoh dari hal ini dapat dikemukakan kenyataan bahwa Wetboek van Strafrecht, yang dikeluarkan pada tahun 1984, tetap berlanjut keberlakuannya untuk mengatur hukum pidana di Indonesia, kecuali dibeberapa daerah di luar Jawa yang mana pengadilan adat masih berjalan. Untuk beberapa wilayah di luar Jawa tersebut hanya beberapa paasal undang undang yang diwarisi dari Belanda diaplikasikan melalui ketentuan ketentuan dalam Undang Undang No. 80 Tahun 1932.
Persoalan-persoalan Hukum pada Masa
Kemerdekaan Indonesia
Terdiri
dari tidak kurang 7.900 pulau, Kepulauan indonesia dihuni oleh berbagai
kelompok yang masing masing selalu mempertahankan adat dan pandangan hidup
mereka. Beberapa kelompok masih mempertahankan aturan pemerintahan penjajah
Belanda:
1. Hukum
hukum yang mengatur semua penduduk
2. Hukum
hukum adat yang berlaku untuk orang Indonesia asli
3. Hukum
Islam yang berlaku untuk semua orang islam di indonesia
4. Hukum
islam yang berlaku untuk masyarakat tertentu di Indonesia
5. Burgelijik
wetbok van koophandel.
Dengan
semangat untuk meruntuhkan kekuatan kolonial dan membangun kedaulatan
nasional,para pemimpin baru cenderung untuk memandang hukum secara esensial
sebagai suatu organ “rasional-legal” dari suatu negara.
Kontroversi
–kontrofersi hukum tak terelakan lagi muncul dalam dua kelompok besar yang
saling bertentangan yaitu kelompok
“pluralis” melawan “univormis”, dan kelompok “sekuler nasionalis” melawan
“muslim”. Pada kelompok pertama ,perdebatan terpusat pada permasalahan unifikasi
hukum dan pluralisme hukum dalam hubungannya dengan hukum adat,sementara
kelompok kedua fokus diskusinya adalah mengenai hukum islam.
1.
Pluralisme vs Uniformisme
Para
pemimpin Indonesia pada masa awal kemerdekaan boleh jadi tidak cenderung kepada
bentuk bentuk inovasi politik atau sosial yang radikal,namun mereka tetap
terikat untuk mewujudkan kebersatuan bangsa. Menurut mereka dengan unifikasi
hukum Indonesia akan dapat dipercepat menuju modernisasi. Pada kenyataannya,
bertali berkelindan dengan kebutuhan akan modernisasi ini adalah kebutuhan lain
dari para pemimpin nasional untuk menyingkirkan spirit hukum kolonial. Dengan
“persamaan di hadapan hukum” sebagai semboyannya. Sistem-sistem hukum yang ada
begitu erat hubungannya dengan kepercayaan agama dan sifat-sifat kultural
sehingga usaha-usaha yang dilakukan ke arah unifikasi hukum tidak dapat
efektif. Sebagai konsekuensinya, unifikasi hukum pada masa-masa awal
kemerdekaan Indonesia terbukti tidak dapat begitu saja direalisasikan. Suatu
fakta yang menunjukkan kekukuhan bentuk pluralisme hukum sebagaimana yang
diwariskan dari pemerintah kolonial Belanda. Unifikasi hukum, pada
kenyataannya, merupakan isu yang pertama kali dimunculkan oleh para pemimpin
republik yang ingin menghilangkan hukum kolonial. Kesulitan-kesulitan yang
harus dihadapi pada dasarnya merupakan konsekuensi, tidak hanya karena
pluralitas tetapi juga karena fakta bahwa sistem judisial modern sebagaimana
yang didefinisikan oleh pranata-pranata kolonial, telah berurat berakar dalam
masyarakat. Hal ini tentu tidak begitu mengejutkan mengingat fakta bahwa para
ahli hukum dahulunya belajar kepada guru-guru Belanda, dan begitu terkesan
dengan pemahaman hukum Belanda.
Namun
demikian, karena revolusi mendorong kekuatan nasional untuk meruntuhkan
kekuatan kolonial dalam semua bentuknya, ide hukum nasional yang terunifikasi
semakin mendapatkan sambutan. Sebagaimana yang telah diduga sebelumnya, langkah
dekolonialisasi dan nasionalisasi hukum di Indonesia ini harus melahirkan
konsekuensi yang menyakitkan bagi lembaga hukum adat. Khususnya di luar Jawa,
runtuhan pengadilan-pengadilan adat terus berlangsung secara pelan-pelan tapi
pasti, seiring dengan mobilisasi sosial yang mendorong ekspansi
institusi-institusi nasioanl. Berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa dimana
pranata-pranata administrasi masyarakat secara relatif telah terbiasa dengan
bentuk unifikasi, di luar Jawa iklim politik dalam keadaan sedemikian rupa
sehingga gerakan unifikasi tersebut terbukti problematik. Penjelasan dari
undang-undang no. 7 pada tanggal 27 Februari 1947 jelas merefleksikan keyakinan
pemerintah bahwa sistem peradilan yang terunifikasikan merupakan jalan pembuka
menuju kepersatuan bangsa. Pada tanggal 29 Agustus 1947, undang-undang no. 23
dikeluarkan dengan secara ekpresif menghapuskan pengadilan adat dari daerah
otonomi Jawa dan Sumatera.
Modifikasi
lebih lanjut terhadap program unifikasi ini ditandai dengan keluarnya
undang-undang baru pada bulan Juni 1948. Karena kembalinya kekuasaan tentara
Belanda di Indonesia, undang-undang ini tidak pernah diperlakukan,meskipun
demikian ide tentang sistem peradilan yang terunifikasi telah mengakar dalam
masyarakat. Undang-undang No.19 Tahun 1948 tersebut hanya mengakui tiga bentuk
pengadilan negeri ,yaitu, umum, administrasi, dan militer. Dalam peradilan umum, hanya terdapat
tiga tingkat peradilan ,yaitu (1) Pengadilan Negeri (peradilan tingkat
pertama), (2) Pengadilan Tinggi (tingkat banding) dan Mahkamah Agung (peradilan
tertinggi).
Dalam
hal pengadilan adat, Pasal 10 dari Undang-Undang Tahun 1948 menentukan bahwa otoritas
hukum penduduk dalam suatu daerah diperbolehkan untuk dilanjutkan menengahi
beberapa konflik dan kejahatan yang mencangkup “hukum yang hidup dalam
masyarakat”. Situasi ini masih tetap tidak berubah hingga munculnya Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS berakhir.
Dengan kedaulatan penuh, usaha untuk meluaskan jurisdiksi lembaga-lembaga
nasional semakin diintensifkan di seluruh Indonesia. Unifikasi hukum pada
kenyataannya kemudian dipahami tidak hanya sebagai suatau bentuk argumentasi
sosial atau juridis semata ,tetapi juga sebagai sisi lain dari dua sisi koin
kekuasaan politik yang tersentralisasi ,sementara hukum adat yang sejak awalnya
bersifat plural. menjadi simbol dari pertahanan otonomi daerah; memang, karena
simbol inilah maka hukum adat tak dapat dipungkiri menjadi pihak yang dicurigai.
Ketetapan MPRS, No. II/MPRS/1960 secara eksplisit mengidentifikasikan hukum
adat sebagai sumber pembangunan dan elaborasi hukum di Indonesia
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan pergeseran dalam pemerintahan dari Soekarno kepada
apa yang disebut dengan administrasi “Orde Baru” tahun 1966. Jika hukum
sebelumnya diartikan sebagai “Hukum sebagai alat revolusi”, maka hukum pada
masa era baru ini diasumsikan mempunyai peran yang baru sebagai “hukum untuk
pembangunan”. Dengan situasi semacam ini, maka artikulasi hukum difungsikan
sebagai alat rekayasa sosial, suatu ide yang mendapatkan popularitas dengan
begitu cepatnya. Ide ini sesungguhnya pertama kali diajukan oleh Mochtar
Kusumaatmadja. Model hukum Kusumaatmadja-lah yang paling banyak memberikan
kontribusi terhadap peran baru hukum sebagai roda modernisasi dalam era Orde
Baru ini. Didukung oleh kekuasaan eksekutif,ide-ide Kusumaatmadja ini cukup berhasil untuk
meredam pertengkaran antara kelompok pluralis dan uniformis. Karena perhatian
utama dari Orde Baru adalah untuk meningkatkan ekonomi.
Apa
yang penting untuk dicatat mengenai fenomena baru ini adalah bahwa hukum
sekarang telah menjadi alat kontrol sosial pemerintah. Dengan hukum yang
sepenuhnya berada di tangan pemerintah, maka tuntutan yang diajukan oleh
kelompok-kelompok pro-adat,yang berargumen bahwa hukum tidak seharusnya datang
dari kekuasaan negara,tetapi harus lahir dari masyarakat bawah. Semakin tidak
terdengar kelompok pluralis oleh karenanya semakin kehilangan argumentasi
filosofisnya. Lebih buruk lagi ,posisi yang kurang menguntungkan dari hukum
adat itu kemudian di perparah dengan semakin berkurangnya para ahli hukum adat
yang mampu memberikan id-ide yang segar tentang bagaimana seharusnya peran adat
pada era modern Indonesia. Pada akhirnya ,hukum adat semakin menghilang seiring
dengan kemunculan institusi hukum sebagai organ pemerintah Orde Baru.
2. Harta Bersama Dalam Perkawinan
Dalam hukum adat harta benda
yang dimiliki oleh suami dan istri dapat dibedakan menjadi dua kategori yang
umum : (1) harta benda yang diperoleh sebelum perkawinan; dan (2) harta benda
yang didapat setelah atau selama perkawinan. Kategori ini diakui dalam hukum perkawinan yang membahas harta
benda, utamanya pasal 35 hingga 37 dari undang-undang no. 1 tahun 1974. Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan dimiliki secara bersama oleh kedua suami
dan istri, tidak pernah dipertanyakan apakah suami atau istri secara bersamaan
yang memperoleh harta benda tersebut, karena sepanjang keduanya masih dalam
ikatan perkawinan, mereka mempunyai hak yang sama terhadap harta benda
tersebut. Oleh karenanya ketika terjadi pembubaran ikatan perkawinan, kedua
pihak juga akan mendapatkan hak yang sama terhadap harta benda. Dari sisi hukum
islam, baik ahli hukum kelompok Syafi’iyah (sebagai paham hukum yang paling
banyak diikuti oleh ulama Indonesia), maupun para ahli hukum lainnya yang
mewakili madzhab-madzhab lain, tidak ada satupun yang sudah membahas topik tentang harta bersama dalam perkawinan ini sebagaimana yang dipahami oleh hukum
adat.
Ahli hukum yang terkenal dari
kelompok hanbaliyah, ibnu ta’imiyah, berkata bahwa sebagian besar ahli hukum
setuju bahwa terdapat dua bentuk treansaksi syirkat: kerjasama dalam
kepemilikan (syirkah al amlak) dan kerjasama dalam hal kontrak (syirka al ukud);
tetapi kedua bentuk ini, dalam pandangan ubnu ta’imiyah, pada kenyataannya
tidak dapat dipisahkan. sejalan dengan prinsip-prinsip harta bersama dalam
perkawinan yang dirumuskan oleh hukum adat. Perbedaan yang mencolok antara
keduanya hanya terletak pada fokusnya saja: sementara kerjasama dalam
kepemilikan harta sebagaimana yang dipahami oleh ibnu ta’imiyah bersifat
ekonomi atau bisnis, institusi harta bersama dalam pengertian adat tidak dapat
dipisahkan dari institusi sosial perkawinan.
Peraturan yang paling baru
berkenaan dengan kerjasama dalam perkawinan ini dapat ditemukan dalam Bab XIII
Kompilasi Hukum Islam tentang Harta Benda dalam Perkawinan. Aturan-aturan
tersebut menunjukkan usaha-usaha yang ditunjukkan oleh para eksponen di
Indonesia untuk mengakomodasikan hukum islam dan hukum adat. Karena sebagian
besar buku tentang fiqih tidak menjelaskan institusi harta bersama dalam
perkawinan, yang merupakan institusi yang sudah lama berurat dan hidup dalam
masyarakat setempat, para ulama merasa berkewajiban untuk memasukkan institusi
masyarakat ini kedalam hukum islam.
3. Wasiat Wajib (wasiyyah wajibah)
Secara umum disebut sebagai
“ayat wasiat”, surah 2, ayat 180 dari qur’an memerintahkan orang islam untuk
membuat wasiat yang dibagikan kepada orangtua dan sanak keluarga yang dekat.
Dalam pandangan ibn hazm, ayat wasiat ini menentukan suatu kewajiban hukum yang
defintif bagi orang Islam untuk membuat wasiat yang akan didistribusikan kepada
kerabat dekat yang bukan menjadi ahli waris. Jika orang yang meninggal gagal
untuk memenuhi kewajiban ini ketika ia masih hidup, maka pengadilan harus
membuatkan wasiat atas namanya.
Suatu interpretasi baru
diajukan untuk pertama kali oleh para ahli hukum Mesir, pada tahun 1946, yang
menspesifikkan bahwa saudara dekat yang akan menerima warisan wajib yaitu
kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu (cucu yatim).
Spesifikasi ini berdasar pada suatu premis bahwa anak-anak dari anak laki-laki
atau perempuan yang telah mendahului meninggal dari si pewaris adalah kerabat
yang masih hidup yang menjadi tanggung jawab bagi pewaris.
Bentuk-bentuk reformasi
terhadap hukum kewarisan mengenai institusi wasiat wajib dapat dilihat dalam
pasal 209 dari kompilasi hukum islam. Berbeda dengan para ahli hukum islam pada
umumnya, yang mengidentifikasikan cucu yatim sebagai penerima wasiat wajib,
para ahli hukum islam Indonesia, memlalui kompilasi, telah menggunakan wasiat
wajib untuk memperbolehkan anak angkat dan orangtua angkat mengajukan klaim
atas bagian tertentu dalam warisan. Pasal 209 kompilasi tersebut menetukan
bahwa anak angkat dan orangtua angkat adalah penerima wasiat wajib dengan
maksimum penerimaan sepertiga dari harta warisan.
Sesuai dengan hukum adat, umum dilakukan oleh keluarga
Indonesia untuk mengadopsi aeorang anak laki-laki atau perempuan, untuk
kemudian dimasukkan kedalam lingkungan keluarga mereka. Dalam masyarakat yang
patrilinieal seperti masyarakt Batak, di Sumatera Utara, atau dalam mayarakat
Matrilineal Minangkabau, di Sumatera Barat, lembaga adopsi sering dihubungkan
dengan dominasi “politis” dari ayah atau ibu dalam keluarga. Di antara orang
Batak misalnya, adat masyarakat mengizinkan suatu keluarga untuk mengadopsi
seorang anak laki-laki tetapi tidak seorang anak perempuan, dalam rangka untuk
menjaga bentuk patrilineal masyarakat tersebut. Setelah mendapat izin dari
orangtua asli si anak, anak angkat tersebut kemudian secara genealogis
dimasukkan kedalam keluarga ayah angkat dan mendapatkan semua hak hukum anak
sah. Dalam masyarakat dimana kedua orangtua mempunyai kedudukan huykum yang
sama (parental), misalnya di Jawa, adopsi diperbolehkan tidak hanya untuk anak
laki-laki, tetap juga untuk anak perempuan, dengan konsekuensi hukum bahwa si
anak tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, akan memperoleh hak yang sama
dihadapan hukum sebagaimana anak sah. Beberapa bentuk karakteristik umum dari
adopsi yang didukung oleh hukuk adat muncul: yaitu, (1) bahwa anak angkat
secara otomatis dimasukkan kedalam lingkungam keluarga orangtua angkat, (2)
bahwa hubungan hukum antara anak angkat dengan orangtua asli terputus, (3)
bahwa posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan anak asli.
Comments