source: kompasiana.com
A. Masa Penjajahan Belanda
Pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia, Selama masa penjajahan, mereka menerapkan suatu kebijakan dualisme
yang digunakan untuk mempertahankan hukum-hukum adat dengan jalan mengalahkan
hukum islam.
Belanda dalam mencapai tujuan di
atas mereka menggunakan metode “pendekatan konflik”, namun tidak memberikan
hasil yang maksimal dikarenakan masyarakat Indonesia telah terbiasa untuk
memadamkan konflik yang mungkin timbul dari hukum adat dan hukum islam.
Dalam studi ini “Masa penjajahan
Belanda”, terdapat 3 (tiga) subbab yang menjadi garis besar penelitian, Pertama, Membahas kebijaksanaan Belanda
terhadap Hukum Islam, Kedua, Menganalisis
kebijaksanaan Belanda terhadap Adat, Ketiga,
Menganalisis Hubungan antara hukum islam dan hukum adat pada masa pemerintahan
Belanda.
1.Kebijaksanaan
Belanda terhadap Hukum Islam
Tahun-tahun dari awal abad 17 hingga
akhir abad 18 ditandai dengan toleransi dari pihak Belanda terhadap hukum islam.
Periode kedua, ditandai dengan transfer kekuasaan dari VOC kedapa Pemerintahan
Belanda sendiri.
Pada awal masa ini, kolonial Belanda
memilih untuk tidak ikut campur dengan institusi hukum islam, terutama
peraturan masalah perkawinan dan kewarisan. Pada tahun 1708, Gubernur jendral
van Hoorn memerintahkan bahwa semua masalah criminal dan sipil dari penduduk di
Jawa dan Madura harus dipecahkan berdasar pada hukum adat oleh para bupati dan
pengadilan-pengadilan mereka.
Permulaan abad 19 ditandai dengan berakhirnya
VOC dan mulainya pemerintahan yang langsung oleh pemerintah kerajaan Belanda.
Pada tahun 1811, saat itu jawa di kuasai kerajaan inggris sebentar, Raffles,
dipilih menjadi letnan Gubernur Indonesia, Raffles memperluaskan wilayah
kekuasaanya untuk mencakup seluruh jawa. Raffles menyatakan bahwa para penghulu
(kepala masjid) sebagai anggota lembagaa peradilan dalam kapasitasnya sebagai
penaasehat. Tahun 1819 jawa di kuasai Belanda lagi, tampak jelas bahwa apa yang
telah dilakukan pemerintahan penjajah terhadap pengadilan Islam bertujuan untuk
memperlemah institusi pengadilan ini.
Tahun 1820, pasal 13 Belanda
memberikan ketentuan bahwa perselisihan yang muncul dalam masalah kewarisan
antara orang islam maka harus diselesaikan oleh penghulu, para bupati
diharuskan utntuk membiarkan penghulu menyelesaikan tugasnya sesuai kebiasaan
adat masyarakat jawa. kemudian tahun 1835, pemerintahan belanda megeluarkan
sebuah Staatsblad 1835 No.56 yang menentukan bahwa perselisihan uang muncul
mengenai perkawinan, kewarisan, atau kasus-kasus dalam hukum islam harus di
pecahkan oaleh penghulu, sedangkan kasus-kasus yang behubungan dengan masalah
kauangan harus di bawa ke pengadilan umum.
Tahun 1889, lahirlah Kantor Urusan
Pribadi yang mana direktur pertamanya yaitu Dr. Christian Snouck Hurgronje.
Beliau mengeluarkan nasehat-nasehat tentang kebijaksanaan islam kemudian
nasehat tersebut dipakai kolonial Belanda. Peraturan pertama yang muncul
pasca-era Hurgronje adalah UU perkawinan 1929 yang tercantum dalam Staatsblad yang
menempatakan penghulu sebagai pegawai pemerintah yang berada di bawah kontrol
bupati.
Kemudian, pada tahun 1931, UU No.2
diperkenalkan, UU ini adalah Staatsblad No.53 Th 1931, ialah suatu peraturan
yang memberika efek paling serius bagi eksistensi Hukum islam. Tiga aturan baru
ditawarkan dalam UU ini :
1.
Priesterraaden (Pengadilan Pendeta) akan dihapuskan dan diganti dengan
pengadilan penghulu
2.
Penghulu akan mempunyai status dan gaji sebagai seorang abdi pemerintah
3.
Sebuang Pengadilan banding akan dibangun guna me-review keputusan-keputusan
pengadilan penghulu.
1. Taklik talak (ta’liq talaq), dalam hal ini suami harus setuju ketika ia meninggalkan dalam waktu
tertentu tanpa memberi nafkah kepada istri sehingga istrinya menderita,
kemudian siistri mengadukannya ke pengadilan agama, maka istri sudah dianggap
diceraikan.
2. Khul’, istri memaksa suaminya menerima pengambilan maharnya sebagai pembayaran perceraian, jika suami
menolak hakim dapat memutuskan suami sudah daianggap mengucapkan sigat
talaknya, atau hakim langsung memutuskan ikatan perkawinannya.
3. Di pantai barat Sumatra dan Tapanuli dilarang
adanya upacara perkawinan tanpa izin tertulis dari ketua masyarakat asli
didaerah tersebut. Surat ituharus memberikan keterangan bahkan tidak ada
penolakan dari hukum adat atas upacara perkawinan tersebut.
Tiga contoh
diatas sebagai bukti bagaimana keharmonisan hukum adat dan Islam pada masa
kolonial Belanda.
Ringkasnya
Belanda mengadopsi suatu kebijaksanaan dimana apresiasi yang tidak wajar
terhadap hukum adat dan Islam. Kebijaksanaan tersebut diperuntukkan
mengkultivikasikan dan mengakomodasikan pluralisme hukum dalam masyarakat
Indonesia. Kriteria perbedaan tersebut ditentukan oleh persoalan agama,
sehingga menghasilkan 3 formasi masyrakat:(1)Orang-orang Eropa,(2)Orang
Indonesia, dan (3) orang Timur Asing, Cina, Arab, dan India. Pengklarifikasian
ini membawa Belanda untuk mengadopsi pendekatan yang pluralistik sifatnya
terhadap intuisi hukum.
Sejalan
dengan kondisi plural ini, usaha Belanda melemahkan hukum Islam dengan cara
mempromosikan hukum adat sangat terlihat. Dimana Belanda mengeluarkan premis
hukum adat dipakai untuk peribumi, sementara hukum Belanda untuk orang-orang
Eropa. Disinilah kunci pengebirian aplikasi hukum Islam.
Semangat
orang-orang islam untuk melakukan perlawanan kepada penjajah dan tetua adat
demi menegakkan hukum itu, digunakan Belanda sebagai senjata, yang kemudian
Belanda mencoba melawannya dengan mempresentasikan adat lokal di seluruh daerah
jajahan. Di tengah-tengah situasi inilah, Belanda menggunakan “pendekatan
konflik”. Namun pendekatan itu gagal karena pada dasarnya orang-orang
senantiasa berusaha mengharmoniskan antara hukum adat dengan hukum Islam.
Kebijakan
Belanda terhadap Adat
Salah satu perinsip penting dari
pemerintah colonial belanda adalah memberikan toleransi terhadap masyarakat dan
institusi pribumi di samping berusaha untuk menyatukan bentuk mereka demi
agenda penjajahan. Kebijaksanaan non-asimilasi ini tidak hanya menentukan bahwa
pemerintah harus memiliki pengetahuan yang jelas dan akurat tentang masyarakat
dan kebudayaan asli, tetapi juga meniscayakann adanya perhatian besar yang
harus diberikan agar kebijaksanaan tersebut tidak tercerai-berai akibat dari
pluralitas masyarakat jajahan. Logika inilah yang menjadi pilar dari
kebijaksanaan belanda dalam usaha untuk mempertahankan dan mempelajari hukum
adat.
Perkembangan studi hukum adat selama
periode penjajahan belanda dapat dibagi ke dalam tiga periode yang berbeda:
pertama, antara tahun 1602 dan 1800; kedua, dari tahun 1800 hingga 1865; dan
ketiga, dari tahun 1865 hingga masa kemerdekaan.
Pada masa sebelum perang kemerdekaan, riset
yang dilakukan oleh Belanda tentang hukum adat Indonesia didominasi oleh
ide-ide yang dikemukakan oleh C. van Vollenhoven (1874-1933), yang pada waktu
itu menjadi professor dan berhasil membangun fondasi untuk studi mengenai hokum
adat sebagai suatu madzhab pemikiran hukum yang mandiri. Van Vollenhoven
melihat kenyataan pluralitas kultur Indonesia, membagi wilayah Kepulauan
Nusantara menjadi 19 wilayah hukum adat yang berbeda-beda, berdasarkan pada
budaya, bahasa, adat dan kebiasaannya. Didalam kesembilan belas wilayah hukum
ini secara relatif keseragaman hukum adat dapat ditemukan, contoh kecil wilayah
yang diidentifikasikan oleh van Vollenhoven adalah: Bali dan Lombok, Jawa
Tengah dan Timur dengan Madura, dan Ibukota Jawa (Betawi) dan Jawa Barat.
Kategori- kategori hukum atau wilayah yang ia maksudkan merujuk kepada kelompok
atau wilayah tertentu dengan bahasa yang sama dari suatu kelompok bahasa yang
sesuku dan sebagaimana ia gunakan dalam perkembangan klasifikasi materi hukum.
Jadi, ia mengajukan teori keluarga-keluarga hukum, suku-suku hukum dan wilayah
hukum yang masing-masing terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai sistem
hukum yang sama.
Saling Hubungan antara Adat dan Hukum
Islam
Pendapat
ilmiah mengenai hukum islam dan hukum adat ini pada masa Belanda dapat
diklasifikasikan ke dalam argumentasi suatu kelompok cendikiawan, yang
dipelopori oleh ilmuwan Belanda seperti G. A Wilken dan C. van Vollenhoven,
memandang bahwa aturan-aturan adat mempunyai akar yang kuat di pedesaan,
semenjak sebelum kehadiran agama-agama impor seperti Islam,Hindu atau Budha.
Mereka juga memandang bahwa ketundukan kepada agama-agama dari luar ini tidak
mampu mengguncang loyalitas mereka terhadap adat. Sejalan dengan artinya yang
kaku, diaplikasikan dalam masyarakat Indonesia dimana kekuatan hukum adat masih
bertahan. Inilah sesungguhnya Belanda menampilkan suatu ketentuan untuk
menempatkan hukum islam dibawah sistem hukum adat.
Bukti perbedaan antara kedua sistem
hukum begitu jelas pada waktu itu, sehingga meyakinkan Belanda akan
kemustahilan adanyasolusi yang harmonis dalam hubungan antara keduanya pada
saat-saat muncul konflik antara kedua system hukum, kebijaksanaan Belanda
secara sistematis pasti akan memihak kepada hukum adat. Hal ini tampak jelas
dalam kasus “peperangan” antara Kaum Muda dan Kaum Tua dalam perang Padri
selama paro pertama abad kesembilan belas masehi di Minangkabu.
B. Masa
Pendudukan Jepang
Indonesia
ditaklukan oleh Jepang hanya dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan. Sehingga
Jepang mengusir Belanda dari Indonesia, perbedaan anatara kedua penjajah
tersebut terletak pada militernya. Militer Jepang di Indonesia bertugas untuk
memegang pemerintahan. Kemudian Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi 3
wilayah administrasi : Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura, Singapura
mengatur Sumatra dan AL di Makassar sebagai pusat pengaturan wilayah
seNusantara.
Pada bulan
September 1942, Jepang di Jawa melakukan transformasi lebaga peradilan.
Hasilnya, lembaga peradilan sekuler didirikan dimana bentuk lamanya Districtsgerecht
(Gun Hooin), Regentschapsgerecht (Ken
Hooin), Landgerecht ( Keizai Hooin), Landraad (Tihoo Hooin), Raad van Justitie (Kootoo
Hooin), dan Hooggerechtshof (Saikoo Hooin) diunifikasi menjadi 1 lembaga yang melayani semua golongan masyarakat,
sementara Residentiegerecht yang khusus untuk orang Belanda di hapuskan.
Unifikasi juga dilakukan pada lembaga kejaksaan. Kebijakan tersebut sangat
didukung oleh para pejuang muslim.
Jepang juga
membuat peradilan adat, Tihoo
Hooin yang diharapkan dapat menggantikan lembaga yang
lama. Namun pola struktural dari pengadilan banding yang lama masih fungsional
dalam tatanan praksis disebabkan karena pemerintah Jepang tidak bisa
menghapuskan keseluruhan jurisdiksi etnis dari peradilan-peradilan yang lama.
Akan tetapi kebijakan-kebijakan yang dibuat Jepang seakan-akan memberikan
harapan baru bagi kekuatan islam untuk menegakkan islam dalam praktek
peradilannya.
Semua itu
dimaksudkan oleh Jepang untuk memenangkan hati orang-orang Islam, dimana
Belanda beranggapan bahwa Islam adalah sarana paling efektif bagi mereka untuk
menginfiltrasi nilai-nilai dan cita-cita Jepang, serta untuk memperlancar masuknya
pengaruh Jepang di Nusantara. Jadi, ketertarikan Jepang dengan Islam
sesungguhnya lebih dimotivasi oleh keinginan subjektif, ketimbang komitmen
mereka dalam hal integritas hukum Islam atau kemakmuran masyarakat Islam.
Dalam
peroses pengunifikasian lembaga peradilan sendiri pembagian wilayah Indonesia
yang dilakukan oleh Jepang pada dasarnya adalh hal yang mengahambat. Jepang
mengganti nama lembaga pengadilan agama dari Priesterraaden menjadi Soorya
Hooin . Lembaga-lembaga peengadilan agama di Jawa dan Madura menangani
kasus-kasus perkawinan dan bertindak sebagai penasehat untuk urusan perkara
kewarisan, sedangkan yang diluar Jawa dan Madura masih memiliki wilayah
jurisdiksi yang lebih luas semisal menangani masalah kewarisan. Atas dasar itu
Soepomo mengajukan proposal tentang penghapusan pengadilan agama. Pada 14 April
1945 Jepang menyarankan bahwa antara agama dan negara dipisahkan, yang dimaksud
untuk menyerahkan urusan pengadilan agama kepada masyarakat Islam dan beroprasi
privat tanpa intervensi dari pemerintah. Namun rekomendasi itu tidak pernah
diimplementasikan, yang disebabkan ketakutan Jepang akan adanya perlawanan dari
orang-orang Islam yang bila kebijakn itu dilaksanakan orang-orang Islam akan
semakin kuat. Pada akhirnya sistem peradilan untuk orang-orang Islam pada masa
penjajahan Jepang tidak mengalami perubahan dibanding ketika berada di bawah
penjajahan Belanda
Comments