Hukum Islam dan Adat di Indonesia dalam buku Ratna Lukito

source: goodreads.com 

            Tulisan pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia ini atas dasar referensi buku karya Ratna Lukito yang mempunyai judul asli Islamic Law and Adat Encounter, The experience of Indonesia, terdiri dari 109 halaman berbahasa Indonesia tentang hukum Islam. Hal ini agar lebih mudah dalam pemahaman isi buku tersebut, tetapi tidak dengan mengurangi pokok-pokok pembahasan yang terdapat di dalamnya.
            Buku ini membahas tentang pola berperilaku, pandangan masyarakat Indonesia tentang hukum adat yang masih sangat kental dan bahkan mendarah daging pada masyarakat tradisional Indonesia. Hukum adat sendiri memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat dalam kehidupan mereka. Bahkan bisa jadi lebih mengutamakan hukum adat dari pada hukum Islam saat ini.
1.      ADAT DALAM PANDANGAN USHUL FIQH
Secara teoritis, adat tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam dalam jurispundensi Islam. Namun demikian, dalam prakteknya, adat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses kreasi hukum islam dalam berbagai aspek hukum yang muncul di negara-negara islam. Dengan kata lain, para ahli hukum islam pada akhirnya menerima berbagai macam bentuk praktek adat tersebut dan oleh karenanya mereka berusaha untuk memasukkan hukum adat dalam bangunan sumber hukum islam.
A.    Hukum Adat pada Masa Nabi dan Sahabat
            Nabi muhammmad, dalam kapasitasnya sebagai pembuat hukum dari sebuah agama yang baru, banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat arab, sehingga memberikan tempat bagi praktek hukum adat tersebut di dalam sistem hukum Islam yang baru.
Dalam hubungannnya dengan keberlangsungan hukum adat, Nabi Muhammad tidak melakukan tindakan-tindakan perubahan terhadap hukum yang ada sepanjang hukum tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip ajarannya yang fundamental. Konsep sunnah taqririyyah sendiri sesungguhnya merupakan bukti yang kuat bahwa Nabi memang membiarkan keberlakuan beberapa adat setempat yang dapat diterimanya.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa banyak cabang dari hukum Islam dipenuhi oleh peraturan-peraturan yang keputusan hukumnya ditetapkan oleh Nabi berdasar pada adat kebiasaan yang berlaku. Contoh-contoh dari aturan-aturan tersebut dapat ditemukan hampir di setiap aspek hukum.
Dalam bidang hukum keluarga, Nabi mempertahankan beberapa praktek hukum yang telah lama diketahui oleh masyarakat Arab sebelum Islam dan hanya mengganti beberapa hal yang tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip alasan hukum yang masuk akal dan landasan moral yang baik. Rasul menghapuskan beberapa praktek hukum yang tidak sesuai dengan prinsip moral yang telah secara luas diamalkan sejak dahulu kala oleh bangsa Arab seperti poliandri, hubungan seksual yang tidak sah, pembunuhan terhadap bayi perempuan, adopsi, perceraian yang berulang-ulang, dan lain sebagainya, sementara itu Nabi juga tetap mempertahankan dan memodifikasi praktek-praktek hukum yang lain seperti poligami, pembayaran mahar, atau pemberitahuan (iqrar) dalam hal perkawinan.
Pengujian terhadap hukum kewarisan juga menunjukkan suatu bukti bahwa Nabi tidak menghapuskan dengan total sistem hukum yang ada dalam masyarakat. Walaupun Qur’an memperkenalkan beberapa reformasi terhadap hukum kewarisan ini, namuntidak dapat dikatakan bahwa reformasi ini secara komplit menghapuskan hukum adat masyarakat Arab sebelum Islam.
Selanjutnya semua bentuk transaksi komersial (buyu’) pra-Islam yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip islam yang baru masih tetap dipertahankan dan dimasukkan ke dalam sistem hukum islam. Misalnya, institusi bai’ as-salam yang dipraktekkan di madinah sebelum hijrah tetap dipertahankan pada masa Rasulullah. Dalam pandangan Marginani, bentuk transaksi ini diperbolehkan “karena Nabi melihat masyarakat mempraktekkannya dan menyetujui keberlakuannya.” lebih dari itu, Schacht berargumen bahwa Nabi menerima sebagian besar kebiasaan hubungan bisnis masyarakat Mekah dan hukum adat pertanian masyarakat Madinah.
Hukum kontrak juga banyak berutang kepada praktek adat masyarakat Arab pra-Islam. Kontrak bukanlah merupakan praktek hukum yang baru pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Arab ketika Islam datang, karena praktek hukum ini sudah lama menjadi salah satu bentuk hukum perdagangan adat yang hidup sejak masa sebelum Islam dan kemudian dimasukkan ke dalam hukum Islam dengan persetujuan dari Nabi.
Dari contoh-contoh yang dikemukakan di atas, maka dapatlah dibenarkan bahwa dalam mengurusi permasalahan masyarakat Muslim, Nabi tidak mempunyai keinginan untuk menentang tradisi-tradisi masyarakat yang berjalan dan bersesuaian dengan misi dakwah yang ia bawa. Ketika tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat (pro bono publico), aturan itu harus dipertahankan; namun ketika tujuannya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, maka aturan tersebut harus dihapus.
Adat lain yang berasal dari daerah non-Islam yang diserap ke dalam budaya Islam adalah ‘usyur. Sebagai suatu bentuk pajak tradisional yang dikenakan kepada para pedagang di daerah-daerah non-Islam, ‘Usyur ini kemudian diterima oleh ‘Umar setelah ia mendapat informasi dari Abu Musa Al-Asy’ari tentang praktek-praktek lembaga pajak ini di daerah-daerah lain.
Begitu juga, para khalifah mempertahankan adat-adat non-Islam dan juga mengadopsi serta mengembangkan beberapa adat asing yang berguna. Misalnya, dalam hal timbangan dan ukuran, padi-padian (yaitu, gandum yang dipakai untuk membuat bir) tetap dipandang sebagai kaili (yang diukur berdasarkan kapasitasnya), sementara emas dan perak digolongkan sebagai wazni (yang diukur berdasarkan beratnya). Dalam kitab sunan-nya, ad-Darimi mencatat bahwa berbagai adat dan kebiasaan yang dipraktekkan dalam transaksi bisnis Nabi juga diikuti oleh para Khalifah penerusnya. Namun ada perbedaan di beberapa kebijaksanaan pada masa khalifah disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada masa itu. Seperti Umar ibn Khattab yang tidak mengizinkan bai’ as-salam ketika praktek perdagangan ini digunakan dalam penjualan buah yang belum muncul pada pohonnya, walaupun di sisi lain Ali ibn Abi Thalib dikabarkan secara pribadi terlibat dalam praktek perdagangan ini, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan binatang.
Hukum adat pra-Islam yang mengatur tentang persewaan dan peminjaman juga dipakai oleh dua khalifah Abu Bakr dan Umar. Terutama selama masa pemerintahan umar, persewaan merupakan tindakan hukum yang secara umum dipraktekkan dalam masyarakat Islam Arab. Orang-orang pada waktu itu sering menyewakan rumah, tanah, binatang, dan juga menyewa tenaga ahli untuk membisniskan barang-barang mereka.
Selanjutnya Umar dan Ali sama-sama memandang kerja sama dagang (mudarabah)- bentuk ini juga diderivasikan dari praktek adat- sebagai suatu institusi yang legal. Dikabarkan bahwa kedua sahabat ini menjaga kekayaan anak yatim dengan memanfaatkan lembaga ini.
Adat pra-Islam lain yang dipraktekkan oleh para sahabat adalah Qasamah. Dalam kasus pembunuhan ini, pembayarannya harus dilakukan oleh anggota laki-laki dalam suatu suku. Namun setelah pembentukan sistem diwan, Khalifah Umar menciptakan suatu kebijaksanaan baru yang mengharuskan uang darah tersebut dibayarkan oleh orang yang menjadi anggota diwan di mana si pembunuh berada.
Contoh-contoh di atas mengilustrasikan bahwa para sahabat tidak menutup pintu kegiatan adopsi terhadap hukum-hukum dan peraturan asing sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang eksplisit dari Qur’an dan Sunnah.
Ringkasnya, pada masa Nabi dan para Sahabat ini, ketika hukum Islam masih dalam awal pembentukannya, proses penciptaan hukum bersifat terbuka terhadap pengadopsian, baik itu institusi hukum Arab pra-Islam maupun Institusi administrasi dan hukum dari daerah-daerah yang baru. Oleh karenanya, sepanjamg tidak ada penolakan moral maupun agama terhadap transaksi atau bentuk kebiasaan tertentu , pengaruh adat yang ada tersebut terhadap hukum Islam pada kenyataannya merupakan sesuatu yang bersifat positif dan memperkaya.

B.     Adat dalam Pandangan Para Ahli Hukum Islam
Akal atau adat tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Seperti firman Allah “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, tentu kata ma’ruf di sini tidak dimaksudkan sebagai kebaikan yang di dasarkan pada adat atau akal manusia, tetapi hanya apa yang Ia perintahkan. hal ini memberikan penjelasan mengapa ‘urf alam arti adat atau kebiasaan tidak dapat dimasukkan di antara sekian sumber hukum oleh para juris Muslim, yang pada gilirannya membatasi diri mereka sendiri kepada penurunan hukum-hukum dari empat sumber saja, yaitu : Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Bagi orang islam, Nabi adalah guru par excellence yang mengajarkan tentang kehendak Allah yang terdapat dalam hukum-Nya. Dalam proses mengatur, Nabi memberikan pengarahan dan memperlancar praktek hukum sacral sekaligus melengkapi kata-kata Allah melalui kata-katanya sendiri serta contoh normative yang sifatnya disebut sunnah. Demikianlah Al-Qur’an sejalan dengan sunnah nabi sehingga menjadi wadah pengaman bagi kehendak Allah dan sumber primer hukum. Secara bebas, keduanya dapat disebut dua sumber utama dalam hukum islam.
Dalam prakteknya, para ahli hukum melanjutkan tradisi yang mengakui efektivitas adat, terutama dalam lapangan interpretasi hukum. Tindakan mempertahankan adat ini dengan demikian merupakan suatu keharusan untuk merekonsilikan kesenjangan waktu dari syari’ah. Penerimaan praktek-praktek adat dapat pula dipandang sebagai suatu kesempatan untuk memperkenalkanfleksibilitas ke dalam kerangka pikir hukum islam.
Para ahli hukum islam melihat prinsip-prinsip adat sebagai salah satu sumber hukum islam yang sekunder, dan bukannya primer, dalam arti diaplikasikannya prinsip-prinsip tersebut hanya ketika sumber-sumber yang primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang muncul.
Para yuris muslim mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang masuknya adat ke dalam hukum islam, tetapi mereka sampai kepada suatukesimpulan yang sama: yaitu bahwa prinsip-prinsip adat merupakn alat yang efektif untuk membangun hukum. Peran adat yang ditunjukkan oleh para pembangun jurisprudensi Islam di atas pada giliran selanjutnya oleh para pengikutnya ditunjukkan dengan cara yang lebih eksplisit. Pandangan dari para fuqaha’ penerus para imam mazhab dari masing-masing aliran hukum perlu dipaparkan di sini untuk memperlihatkan signifikansi adat local tersebut. Kita melihat bahwa semua ahli hukum Hanafiyah menganggap adat sebagai sumber hukum. Para ahli hukum Malikiyah juga demikian, menerima prinsip-prinsip adat sebagai sumber otoritas hukum yang pasti. Melihat jejak pendiri mazhab yang menggunakan adat sebagai dasar yang valid untuk berargumentasi, para yuris Syafi’iyah memanfaatkan prinsip-prinsip adat dalam keputusan hukum mereka.
Para fuqaha’ kemudian mengualifikasikan peran adat dengan berbagai persyaratan agar valid menjadi bagian dari hukum islam:  (1)adat harus secara umum dipraktekkan oleh masyarakat berdasarkan masing-masing luas wilayah kelompok adat; (2)adat harus berupa kebiasaan yang sedang berjalan; (3)adat harus dipandang tidak sah ab initio jika adat tersebut bertentangan dengan ketentuan yang eksplisit dari al-Qur’an dan Hadits; dan (4)dalam hal perselisihan, adat akan dipakai hanya ketika tidak ada penolakan yang eksplisit sifatnya untuk menggunakan alat adat dari salah satu pihak yang terlibat.

Comments