Dewasa ini semakin disadari bahwa
memahami dan memecahkan masalah sudah tak bisa lagi hanya didekati dari suatu
sudut pandang saja, misalnya hanya dilihat dari faktor sosiologis, atau relugius
bahkan yang lainnya, melainkan harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Ini
berarti suatu disiplin ilmu tidak bisa lagi bekerja sendirian dalam memecahkan
masalah, sebaliknya ia membutuhkan bantuan dari disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Ilmu sendiri kedudukannya
mendasar dalam kehidupan manusia. Hampir setiap aktivitas manusia dikendalikan
oleh ilmu. Perkembangan ilmu sendiri sangatlah pesat mengiringi tingkat
tuntunan kebuTuhan manusia dari yang bersifat material, teknis, kemanusiaan,
kemasyarakatan, sampai yang bersifat spiritual dan religius. Berdasarkan
keragaman dan dinamika kebuTuhan manusia ini, berkembanglah disiplin-disiplin
ilmu, yakni ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial humaniora, dan ilmu-ilmu agama.
Ketiga disiplin ilmu tersebut,
terutama terkait dengan sifat kajiannya, memiliki kekhasan epistimologi
masing-masing. Kekhasan tersebut tergambar dalam cara-cara kerja ilmu tersebut.
Masing-masing disiplin ilmu ini mempunyai cara kerja yang berbeda antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Berikut ini akan dibahas cara-cara
kerja khas dariketiga disiplin ilmu tersebut.
1. Cara Kerja
Ilmu Alam
Sebelum adanya filsafat sebagai tradisi
keilmuan baru, pada zaman Yunani
kuno telah
ramai perbincangan mengenai ilmu fisika, kimia, matematika serta ilmu astronomi
diantara pecinta ilmu. Ilmu-ilmu alam ini, menjadi bahan diskusi mereka yang
cinta dan haus akan ilmu kala itu. Jika dilihat dari segi manfaatnya, sebenarnya
ilmu mempunyai manfaat langsung bagi manusia. Hal ini disebabkan karena ilmu
mudah diamati/diukur dan secara praktis manfaatnya dapat dirasakan langsung.
Ilmu alam yang sifatnya fisikal atau material sangat penting bagi manusia,
terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Contohnya pengukur suhu, telephone, stetoskop dan yang lainnya yang
tujuannya untuk mempermudah dan memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Ciri-ciri cara
kerja ilmu alam:
a.
Gejala
Alam Bersifat Fisik-Statis
Ilmu-ilmu alam
berkaitan dengan gejala-gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan
gejala-gejala alam yang sifatnya fisik yang teramati dan terukur, Gejala alam
memiliki sifat statis atau tetap dari waktu ke waktu. Karena statis jumlah variable dari gejala
alam sebagai objek yang diamati juga relative lebih sederhana dan sedikit.
Misalnya ketika ahli ilmu alam ingin menjelaskan suatu eksplosi kimiawi, dia
hanya perlu mempelajari sifat bahan kimiawi yang bisa meledak dan mudah
diamati. Jadi faktornya sederhana untuk bisa menjelaskan eksplosi kimiawi.
b.
Objek
Penelitian Bisa Diulang
Karena sifat
gejala alam fisikal-statis, maka objek penelitian dalam ilmu alam adalah tetap
atau tidak mengalami perubahan. Dengan sifat ini objek penelitian ilmu alam
bisa diamati secara berulang-ulang. Orang jaman sekarang bisa meneliti ulang
proses penemuan grafitasi oleh Isaac Newton. Dengan gejala alam yang sama
seperti Newton. Hal ini terjadi karena sifat-sifat gejala alam adalah seragam
dan bisa diamati kapanpun. Ketika mengamati barang jatuh menuju bumi, variable yang
dipakai dalam eksperimen untuk menguji penemuan gravitasi adalah sama antara
jaman Newton dan jaman sekarang.
c.
Pengamatan
Relative Lebih Mudah dan Simple
Pengamatan
dalam ilmu alam lebih mudah karena bisa dilakukan secara langsung dan bisa
diulang kapanpun. Untuk menetahui melelehnya sebuah besi, ahli-ahli ilmu alam
pada zaman dulu mempelajari sifat dari besi yang bisa leleh oleh panas, lalu
mereka memanasi besi tersebut. Para ahli ilmu alam jaman sekarang melakukan hal
yang sama seperti yang dilakukan para ahli jaman dahulu. Ahli ilmu alam bisa
mengubah bentuk besi yang semula persegi menjadi segitiga atau bulat. Kata
mengamati dalam ilmu alam tentu lebih luas dari interaksi langsung dengan
pancaindera manusia yang lingkup kemampuannya terbatas.
Untuk itu
manusia menggunakan alat bantu seperti mikroskop, teleskop, alat perekam
gelombang dan sebagainya. Jika seseorang ingin mendapatkan suatu gejala alam
baru yang belum terdaftar dalam ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberikan
informasi tentang lingkungan, peralatan, seta cara pengamatan yang digunakan,
sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali jika ingin mengujinya.
Meskipun pengamatan ilmu alam bersifat reproducible (bisa
diulang-ulang), namun juga dimungkinkan akan memiliki hasil yang berbeda
menurut cara pengamatan yang dipakai, meskipun cenderung seragam atau objektif.
d.
Subjek
Pengamat (Peneliti) Lebih Sebagai Penonton.
Prinsip pengamatan/penelitian dalam
ilmu alam adalah objek, artinya kebenaran disimpulkan berdasarkan objek yang
diamati. Pengamat tidak terlibat atau tidak berpengaruh terhadap objek yang
ditelitinya. Henry Margenau (1901 – 1997) berpendapat bahwa prinsip objek ini
menempatkan posisi ilmuan alam lebih sebagai the cosmic spectator (pengamat)
daripada cosmetic spectacle (tontonan). Ilmuan alam adalah penonton
alam, ia hanya mengamati alam dan kemudian memperlihatkan kepada orang lain
hasil pengamatannya, dimana ia tidak melibatkan ke-subjetivitas-nya, tetapi
sekedar menunjukan hasil tontonannya. Henry Margenau mengingatkan bahwa the
cosmetic spectator hanyalah perwujudan dari sisi dominannya saja atas
konflik klasik hunungan antar subjek dan objek, antara the world dan its
knower, dan lebih dari itu berarti tidak ada intervensi subjek sama sekali.
Sisi dominan pengamatan dalam ilmu
alam adalah lebih sebagai “penonton”, maka tujuan aktivitas pengamatan hanya
menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah Wilhelm Dilthey
(1833 – 1911) disebut erklaren. Dalam erklaren ini pengalaman dan
teori dapat dipisahkan, artinya ada suatu jarak atau distansi antara pengamat
dan yang diamati. Pengamat tidak terlibat dalam objek yang diamati, tugasnya
hanya menjelaskan hasil pengamatannya.
e.
Memiliki
Daya Predikatif yang Relative Mudah Dikontrol.
Ilmu alam lebih menarik diteliti
bukan hanya karena gejala alam membangun berbagai teori, melainkan karena
gejala alam yang diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu dapat digunakan
untuk memprediksikan kejadian-kejadian yang dimungkinkan akan timbul dari gejala
gejala tersebut.
Misalnya dari pengalaman hidupnya,
manusia mempelajari tekstur lempengan-lempengan dalam bumi, termasuk
gerak-gerak dan karakternya serta sebab-sebab terjadinya gerakan itu.
Pengamatan tersebut dapat menjelaskan semacam keajekan (kebiasaan) bahwa setiap
sekian seratus tahun terjadi patahan-patahan dari lempeng-lempeng bumi
tersebut. Pengetahuan ini dapat dijadikan acuan prediksi misalnya jika terjadi
patahan lempengan didasar laut maka akan menimbulkan gelombang laut yang sangat
besar atau yang kebih popular dengan sebutan tsunami.
2. Cara Kerja
Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora berkembang
lebih pesat kemudian dan perkembangannya tidak sepesat ilmu-ilmu alam. Ini
disebabkan karena objek kajian dari ilmu-ilmu sosial-humaniora tidak hanya
sebatas fisik dan material tetapi bersifat lebih kompleks. Manfaat dari ilmu
sosial-humaniora tidak bisa langsung dirasakan karena harus berproses dalam
wacana yang panjang dan memerlukan negoisasi, kompromi, dan consensus
(persetujuan umum). Sama halnya dengan ilmu alam, manusia juga memerlukan ilmu sosial-
humaniora untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang bukan berupa fisik atau materi, tetapi bersifat abstrak dan
psikologis. Contohnya penemuan konsep keadilan sosial membawa manusia untuk
mengatur perilaku sosialnya atas dasar dan konsep tersebut. Lalu konsep kemanusiaan
membawa manusia kepada sikap tidak diskriminatif/menindas atas orang lain
meskipun berbeda suku, agama, ras, budaya, warna kulit dan sebagainya.
Ciri-ciri cara kerja ilmu sosial-humaniora:
a. Gejala
Sosial-Humaniora Bersifat Non Fisik, Hidup, Dan Dinamis.
Gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial-humaniora bersifat hidup
dan bergerak secara dinamis. Hal ini berbeda dengan gejala-gejala yang diamati
dalam ilmu-llmu alam dimana gejala alam yang diamati lebih bersifat mati yang
berwujud fisik atau materi. Objek studi ilmu sosial-humaniora adalah manusia,
dan lebih spesifik lagi yaitu dari segi inner world (dunia dalam) nya,
bukan outer world (dunia luar) nya dimana ini (outer world) yang
menjadi ciri ilmu-ilmu alam. Misalnya ilmu kedokteran, dan posisinya disini
adalah sebagai ilmu alam yang menelaah atau mengamati dari segi fisik. Jika
dilihat secara sederhana, ilmu kedokteran menelaah manusia, begitu juga ilmu
sosial-humaniora. Namun bedanya ialah, ilmu kedokteran menelaah aspek luarnya
manusia secara biologis atau fisik, sedangkan ilmu sosial-humaniora menelaah
lebih kepada bagian “dalam” nya manusia, atau apa yang ada “dibalik” manusia
secara fisik, seperti; mental life (kehidupan mental), mind-affected
world (dunia yang terpengaruh pikiran), inner side (sisi dalam),
atau geistige welt (dunia spiritual). Artinya ilmu sosial-humaniora
menelaah lebih dalam, bukan hanya sebatas fisik saja.
b. Objek
Penelitian Tidak Dapat Berulang.
Gejala-gejala fisik dalam ilmu-ilmu alam, karena berupa benda-benda
“mati” maka bersifat stagnan (tetap) dan tidak berubah-ubah dan karenanya dapat
diamati secara berulang-ulang. Sementara gejala-gejala ilmu sosial-humaniora
memiliki keunikan-keunikan, kemungkinan bergerak dan berubahnya sangat besar,
karena mereka tidak stagnan dan tidak statis. Kejadian sosial yang dulu pernah
terjadi bisa saja dapat terulang dalam masa sekarang atau mendatang, namun tidak
benar-benar sama. Contohnya hasil penelitian pelaku kerusuhan orang-orang di
Papua pada tahun 2005, dibandingkan dengan penelitian ulang perilaku kerusuhan
pada tahun 2011. Data yang diperoleh atau gejala-gejala sosial-humaniora yang
dapat diperoleh meskipun dari informan yang sama tidak akan pernah sama persis,
ini disebabkan karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan berkembang dan
mungkin berubah, ditambah lagi perubahan-perubahan konteks sosial budaya
politik.
Ini menunjukan bahwa gejala-gejala sosial-humaniora cenderung tidak
dapat ditelaah atau diamati secara berulang-ulang. Hal ini disebabkan karena
gejala-gejala tersebut bergerak seiring dengan dinamika konteks historisnya. Ilmu
sosial-humaniora hanyaa memahami, memaknai, dan menafsirkan gejala-gejala sosial-humaniora,
bukan menemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan
penafsiran ini lebih besar menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan
menghasilkan kesimpulan yang bertentangan.
c. Pengamatan
Relatif Lebih Sulit dan Kompleks.
Dikarenakan sifat gejala-gejala sosial-humaniora yang bergerak dan
bahkan berubah, maka bisa dibayangkan ilmuan sosial-humaniora dalam mengamati
gejala-gejala, mereka sudah barang tentu lebih sulit dan kompleks. Karena yang diamati
oleh ilmu-ilmu sosial adalah apa yang ada dibalik penampilan fisik dari manusia
dan bentuk-bentuk hubungan sosial mereka. Misalnya saja senyuman. Melihat
seseorang tersenyum pada orang lain adalah hal yang sering bisa ditemukan dalam
kehidupan sehari hari, tetapi makna senyum itu dalam ilmu sosial-humaniora
bermakna banyak, boleh jadi ia senang pada orang yang dilihatnya, boleh jadi ia
tidak suka namun terpaksa tersenyum, dan boleh jadi yang lainnya.
Van Dalen menambahkan bahwa ilmuan alam berkaitan dengan gejala fisik
yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang
relative kecil dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti. Sedangkan
ilmu-ilmu sosial-humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun
anggota suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan
karenanya variable dalam penelaahan sosial-humaniora relative lebih banyak dan
kompleks serta kadang-kadang membingungkan.
d. Subjek
Peneliti Juga Sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati.
Subjek pengamat atau peneliti dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora jelas
jauh berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Dalam ilmu-ilmu alam, subjek pengamat bisa
mengambil jarak dan fokus pada objektifitas yang diamati, tapi dalam ilmu-ilmu
sosial-humaniora subjek yang mengamati atau peneliti tidak mungkin bisa
mengambil jarak dari objek yang diamati dan menerapkan prinsip objektivistik,
dan tampaknya lebih condong ke prinsip subjektivistik.
Misalnya dalam mengamati planet seorang ilmuan alam tidak perlu
berpusing-pusing memikirkan motif dan tujuan dari planet tersebut, kenapa ada
dan diciptakan misalnya, ia hanya perlu menjelaskkan apa yang dilihatnya, dan
proses pengamatan itu bisa dilakukan berulang-ulang dengan gerak planet yang masih
sama. Namun dalam ilmu sosial-humaniora peneliti yang mengamati perilaku sosial
masyarakat tertentu harus “membongkar” motif dan tujuan dari perbuatan yang
dilakukan mereka, dan dalam kegiatan “membongkar” ini peneliti tidak bisa
melepaskan dari kecenderungan-kecenderungan nilai individu yang sedang
dipandanginya. Dengan demikian, objek yang sama yang diamati oleh peneliti ilmu
sosial-humaniora bisa dipastikan tidak akan menghasilkan kesimpulan yang
tunggal, tetapi cenderung beragam.
Subjek pengamat ilmu sosial-humaniora bukanlah sekedar sebagai spectator
(pengamat) atas suatu kejadian sosial-humaniora, melainkan terlibat baik secara
emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari objek yang
diamatinya. Manusia bisa mengamati benda-benda fisik seperti gerak-gerak angin
tanpa terlibat secara pribadi, tetapi manusia tidak mungkin mengamati manusia
lain tanpa melibatkan minatnya, nilai-nilai hidupnya, kegemarannya, motifnya,
dan tujuan pengamatannya. Semua ini akan menjadi serta mempengaruhi
pertimbangan-pertimbangan dalam mempelajari gejala sosial-humaniora.
Menurut Dilthey, kalau dalam ilmu-ilmu alam menggunakan Erklaren,
maka dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora pengamatannya memakai Verstehen
yaitu memegangi prinsip mengungkapkan makna dan tidak sekedar menjelaskan.
Pengalaman dan struktur-struktur simbolis yang dihasilkan didalam dunia
kehidupan sosial-humaniora itu tidak tampak “dari luar” seperti data alamiyah
yang diobservasi oleh ilmu-ilmu alam, melainkan harus dilibati “dari dalam”
dari subjek sosial-humaniora. Apa yang ingin diketahui bukanlah sekedar
kausalitas, melainkan pengertian dan makna. Versthen pada prinsip
mengungkap pengertian dan makna adalah benar, tetpi untuk memahami pemikiran
orang lain dengan berempati masuk dalam personalitas dan relung-relung bagian
terdalam yang diamati tanpa melibatkan sedikitpun atau menanggalkan sepenuhnya
relung-relung bagian terdalam dari subjek yang diamati adalah hal yang belum
benar dalam Versthen karena ini terdorong oleh prinsip objektivistik.
Dalam mengungkapkan pengertian dan makna, tetap bahwa relung-relung bagian
terdalam dari subjek penelitian tetap tidak sepenuhnya dilepaskan seperti yang
dipegangi dalam hermenetika Heidegger dan Gadaner.
e. Memiliki
Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tidak Terkontrol.
Teori sosial-humaniora tidak mudah unntuk memprediksi kejadian sosial-humaniora
berikutnya yang akan terjadi. Ini disebabkan oleh pola perilaku individu atau
kelompok yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian yang sama pada saat
yang berbeda.
Hal ini tidak berarti hasil temuan dalam ilmu sosial tidak dapat dipakai
sama sekali untuk memprediksi kejadian sosial lain. Teori sosial dapat dipakai
dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetapi tidak sepasti dan semudah dalam
ilmu alam.
3. Cara kerja
ilmu keagamaan.
Ilmu Keagamaan
adalah suatu disiplin ilmu yang penting dalam kehidupan manusia. Ilmu ini
berkembang sejak manusia dihadapkan pada kekuatan adikodrati. Mereka
membangun ritual keagamaan sebagai simbol pemahaman tentang hidup dan realitas
hubungan manusia dengan alam dan kekuatan adikodrati. Dalam agama-agama
besar dunia seperti: Islam, Katholik, Yahudi, Hindu, dan Budha, terdapat
pengetahuan tentang Tuhan, alam semesta, kehidupan di akherat, hubungan sosial
manusia, pengobatan, kejiwaaan, lingkungan hidup dan sebagainya. Misalnya,
teori tentang hakekat manusia, teori tentang hubungan manusia, teori tentang
masyarakat yang baik dan sebagainya. Ilmu agama memiliki ciri ilmiah yang khas
dibandingkan dengan ilmu alam dan sosial-humaniora.
Ciri-ciri cara
kerja ilmu Keagamaan antara lain:
a.
Gejala
Keagamaan sebagai ekspresi Keimanan dan Pemahaman Teks Suci.
Gejala
Keagamaan jelas tampak pada perilaku-perilaku keagamaan baik individu maupun
kelompok yang beragama, juga tampak pada karya seni dan budaya. Gejala
keagamaan merupakan sesuatu yang bergerak, tidak statis, jadi lebih dekat
dengan gejala sosial-humaniora. Gejala keagamaan mengindikasikan suatu dinamika
keimanan sebagai hasil dari pengalaman dan pemahaman atas teks suci keagamaan
dan yang diyakini. Objek kajian ilmu keagamaan adalah manusia yang beragama dan
lebih focus pada inner world-nya, yakni aspek keimanan teologisnya.
Contohnya, paham keTuhanan dan implikasi pada perilaku sosial-humaniora, dan
pemahaman keagamaan yang dibangun oleh manusia beragama.
b.
Objek
Penelitian Unik dan Tidak Dapat Diulang.
Objek kajian
keagamaan unik karena menyangkut kayakinan beragama. Dalam ilmu keagamaan,
keyakinan agama dijadikan sumber pengamatan mengapa muncul perilaku sosial yang
beragama. Hal ini berarti teks-teks suci keagamaan yang diyakini orang beragama
termasuk objek penelitian ilmu keagamaan. Objek penelitian ilmu keagamaan
bersifat tidak dapat diulang-ulang, karena kejadian keagamaan adalah cerminan
perilaku masyarakat beragama pada kurun waktu dan tempat tertentu tidak mungkin
direkonstruksi oleh orang sesudahnya seperti kejadian pada awal masanya.
c.
Pengamatan
Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi teks-teks Suci Keagamaan.
Pengamatan
dalam ilmu keagamaan mirip dalam ilmu sosial-humaniora, yakni sulit dan
kompleks, karena melihat dan memaknai apa yang ada dibalik kegiatan dan
perilaku fisik dan empiris manusia beragama. Karena kegiatan dan perilaku fisik
dan empiris adalah bentuk ekspresif dari keimanan mereka pada Tuhan sebagai
hasil pemahaman mereka terhadap teks-teks suci yang diyakini. Pengamatan dalam ilmu keagamaan juga harus
menyelami dan menginterpretasikan item-item dalam teks-teks suci terkait
fenomena kegiatan dan perilaku manusia ber-raga yang dapat ditangkap.
Perilaku-perilaku keagamaan ketika diamati dengan jelas bermuatan
multi-interpretasi baik terhadap gejala-gejala yang ditangkap maupun dari segi
penafsiran teks-teks sucinya.
d.
Subjek
pengamatan (peneliti) juga sebagai bagian Integral dari objek yang diamati.
Pengamat atau
peneliti dalam ilmu keagamaan tidak dapat dilepaskan dan merupakan bagian
integral dari objek yang diamati, yaitu perilaku sisoal manusia beragama atau
aktivitas keagamaan. Dalam mengkaji teks-teks suci keagamaan atau teks-teks
keagamaan hasil interpretasi atas teks-teks suci, seorang pengamat pasti
terlibat secara emosional dan rasioanal dalam memahami dan menyimpulkan makna
mereka.
f.
Memiliki
daya prediktif yang relative lebih sulit dan tidak terkontrol.
Suatu teori
dari hasil pengamatan terhadap aktivitas keagamaan tidak mudah beramal
aktivitas keagamaan lainnya yang akan terjadi. Hal ini terjadi karena pola
perilaku keagamaan yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian-kejadian
berikutnya yang sama. Dalam ilmu keagamaan, wajib mempertimbangkan keragaman
pemahaman orang yang beragama terhadap ajaran agama mereka, hal ini menambah
daya prediktif ilmu agama semakin sulit untuk dipastikan. Ilmu keIslaman
bersumber pada teks-teks suci, yakni al-Qur’an, Hadist Nabi, dan sumber-sumber
penalaran rasional dan pengalaman empiris keIslaman. Keterkaitan sumber-sumber
studi Islam tersebut ialah kelahiran ilmu dalam Islam, seperti studi al-Qur’an
dan studi Hadist, Tafsir al-Qur’an dan teori pemahaman Hadist, fiqh dan ushul
fiqh, ilmu kalam, tasawuf, ilmu falaq, atau etika dalam Islam, politik Islam,
ekonomi Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam dan seterusnya.
Dalam studi Islam
terkandung persoalan bagaimana Islam memahami dan memegangi realitas kehidupan
dengan berbagai ragamnya. Maksudnya hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan
melahirkan berbagai realitas yang semakin beragam, yaitu sosial, politik,
budaya, pendidikan, hukum, hak asasi manusia dan sebagainya. Persoalannya
adalah bagaimana sesungguhnya pandangan dunia Islam tentang kehidupan ini
secara umum. Jawabanya bukan hanya dengan fiqh saja, tafsir al Qur’an saja, tasawuf
saja, melainkan dengan semua disiplin ilmu ke Islam-an yang telah ada dan
dimungkinkan ada. Integrasi-Interkoneksi dalam studi Islam harus terjadi dari
dua sisi, yaitu sisi internal (tafsir, fiqh, tasawuf, ilmu kalam, filsafat Islam,
dan sebagainya), dan dari sisi eksternal (ilmu Islam dengan ilmu alam dan sosial-humaniora).
Rajutan
Integrasi-interkoneksi dalam studi Islam terangkum dalam istilah dipopulerkan
oleh Amin Abdllah dengan “jaring laba-laba”. Penjelasan pertama, bahwa al Qur’an
dan Hadist adalah sumber normative Islam. Kedua, fokusnya adalah berbagai
pendekatan dan metode. Ketiga, lahirnya ilmu tradisional Islam, seperti tafsir,
Hadist, kalam, fiqh, tasawuf, dan falsafah. Keempat, ilmu ke Islam an
menggunakan perspektif ilmu alam dan sosial-humaniora, seperti sejarah,
filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, filologi dan seterusnya.
Integrasi-interkoneksi antar disiplin ilmu akan mendinamisir ilmu baru.
Pengembangan keilmuan Islam Integrasi-interkoneksi tersebut harus menyentuh
ilmu alam dan sosial-humaniora, yakni isu-isu aktual dan kekinian, seperti
pluralism agama, hukum internasional, demokrasi, etika, gender, dan seterusnya.
Pengembangan studi Islam model jaring laba-laba berpijak pada tiga hadharah,
yakni hadharah al-nash, hadharah falsafah, dan hadharah ilm. Pemaknaan
interpretative atas nash, al Qur’an dan Hadist, tidak meninggalkan the
wholeness of reality (keutuhan realitas), dan tidak mengabaikan perspektif
keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang berkembang dan dimungkinkan akan ada.
Ilmu keIslaman dikembangkan dalam model interconnected entities, yaitu
saling berhubungan.
Kesimpulan
Ilmu alam yang sifatnya fisikal atau material sangat penting bagi
manusia, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Contohnya pengukur suhu, telephone, stetoskop dan
yang lainnya yang tujuannya untuk mempermudah dan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam kerjanya ilmu alam memiliki beberapa
prinsip, yaitu: 1) gejala alam bersifat fisik statis, 2) objek penelitian dapat
berulang, 3) pengamatan lebih mudah dan simpel, 4) subjek (peneliti) hanya
sebagai penonton, dan 5) memiliki daya prediktif yang relative mudah dikontrol.
Sama halnya dengan ilmu alam, manusia juga memerlukan ilmu sosial-
humaniora untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka yang bukan berupa fisik atau materi, tetapi bersifat abstrak dan
psikologis. Contohnya penemuan konsep keadilan sosial membawa manusia untuk
mengatur perilaku sosialnya atas dasar dan konsep tersebut. Adapun dalam cara kerja ilmu sosial-humaniora
juga terdapat beberapa prinsip, yaitu: 1) gejala sosial-humaniora bersifat
non-fisik, hidup dan dinamis, 2) objek penelitian tidak dapat berulang, 3) pengamatan
relatif lebih sulit dan komplek, 4) subjek peneliti juga sebagai bagian
integral dari objek yang diamati, dan 5) memiliki daya prediktif yang relatif
lebih sulit dan tidak terkontrol.
Ilmu Keagamaan
adalah suatu disiplin ilmu yang penting dalam kehidupan manusia. Ilmu ini berkembang sejak manusia
dihadapkan pada kekuatan adikodrati. Misalnya, teori tentang hakekat manusia, teori tentang hubungan
manusia, teori tentang masyarakat yang baik dan sebagainya. Ilmu agama memiliki
ciri ilmiah yang khas dibandingkan dengan ilmu alam dan sosial-humaniora. Ciri-ciri ilmu keagamaan antara
lain: 1) gejala keagamaan sebagai ekspresi keimanan dan pemahaman teks suci, 2)
Objek penelitian unik dan tidak dapat diulang, 3) pengamatan sulit dan kompleks
dengan interpretasi teks-teks suci keagamaan, 4) subjek pengamatan (peneliti)
sebagai bagian integral dari objek yang diamati, dan 5) memiliki daya prediktif
yangn relatif lebih sulit dan tak terkontrol.
Comments