(1)
Masalah
pembatasan umur minimal kawin
UU
No.1 tahun 1974
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurang-kurangnya 16 tahun
(2) Bagi calobn yang
belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam
pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No.1 Tahun 1974
(2)
Masalah
peranan wali dalam nikah
UU
No.1 tahun 1974
Pasal 6
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan
adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara,
wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak
yang berkepentingan.
(2) Mereka
yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan,
sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi
calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
yang tersebut dalam ayat.
(3)
Masalah
pendaftaran dan pencatatan perkawinan
UU
No.1 tahun 1974
Pasal 2
(2) Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PP No.
9 Tahun 1975
Pasal 2
(1)
Pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
(2)
Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
(3)
Dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan
perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan
perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3
(1)
Setiap orang
yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada
Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2)
Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3)
Pengecualian terhadap
jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting,
diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya
terdahulu.
Pasal
(1)
Pegawai
Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak
terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.
(2)
Selain
penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat
meneliti pula :a.
Kutipan akta
kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usulcalon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa
atau yang setingkat dengan itu
b.
Keterangan
mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon
mempelai
c.
Izin
tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) , (3) , (4)
dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d.
Izin Pengadilan
sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang
suami yang masih mempunya isteri;
e.
Dispensasi
Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang
f.
Surat kematian
isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan
perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g.
Izin tertulis
dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang
calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata
h.
Surat kuasa
otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu
alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
(1)
Hasil
penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah
daftar yang diperuntukkan untuk itu.
(2)
Apabila
ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud
Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6
ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada
calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan
syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, Pegawai
Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh
Pegawai Pencatat dan memuat :
(1)
Nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari
orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin
disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu
(2)
Hari, tanggal,
jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Pasal
44
Pegawai
pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 43
Kompilasi
Hukum Islam
Pasal 5
(1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan
perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954.
PP No
10 Tahun 1983 Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS
Pasal 2
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama,
wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki
dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi
Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan
perkawinan lagi.
(4)
Masalah
keuangan perkawinan termasuk maskawin dan biaya perkawinan
UU No.1 Tahun 1974
Pasal
35
(1) Harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan
dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atu warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan keua belah
pihak.
(2) Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempuanyai hak sepenuhnya untuk
melakuakan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Kompilasi Hukum
Islam
Pasal
30
Calon mempelai
pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar
berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan
langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33
(1)
Penyerahan mahar dilakukan dengan
tunai.
(2)
Apabila calon mempelai wanita menyetujui,
penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang
belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
(1)
Kewajiban menyerahkan mahar mahar
bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2)
Kelalaian menyebut jenis dan jumalh
mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula
halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal
35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar
belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti
denganbarang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang
sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang
hilang.
Pasal
37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar
yang ditetapkan, penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal
38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi
calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal
dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami
harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya
belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
(5)
Masalah
poligami dan hak-hak istri dalam poligami
UU No. 1 Tahun
1974
Pasal 3
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka;
c. adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Kompilasi Hukum Ialam
Pasal 55
(1)
Beristeri lebih
satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2)
Syarat utaama
beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
ister-isteri dan anak-anaknya.
(3)
Apabila syarat
utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri dari seorang.
Pasal
56
(1)
Suami yang
hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.(2)
Pengajuan
permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana
diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3)
Perkawinan yang
dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama,
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal
57
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a.
isteri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.
isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Pasal
58
(1)
Selain syarat
utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan
Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.
adanya
pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)
Persetujuan
dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri
atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal
59
Dalam
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri
lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian
izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.
PP
No. 9 Perkawinan
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan
lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji
dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan
41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim
selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya
yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
PP No 10 Tahun 1983 Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan
beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak
diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan
menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat.
Pasal 10
(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang
hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah
satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ialah
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ialah
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang
bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk
membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang
tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan
agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan
dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan
tugas kedinasan.
PP
No 45 1990 tentang Perubahan PP No 10 Tahun 1983
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih
dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk
menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin
untuk beristri lebih dari seorang.
(6)
Masalah
nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal
UU No.1 Tahun 1974
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga
sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
Kompilasi
Hukum Islam
Pasal 80
(1)
Suami adalah pembimbing, terhadap
isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2)
Suami wajib melidungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya
(3)
Suami wajib memberikan pendidikan
agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4)
Sesuai dengan penghasislannya suami
menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya
pendididkan bagi anak.
(5)
Kewajiban suami terhadap isterinya
seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
(6)
Isteri dapat membebaskan suaminya
dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan
b.
(7) Kewajiban
suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Pasal
81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman
juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata
dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
(7)
Masalah
talaq di muka pengadilan
UU No.1 Tahun 1974
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini
diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Hukum Kompilasi
Islam
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung
pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya
perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh
isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah
lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai
berikut :
a.
Suami bersumpah
empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti
sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan
atau pengingkaran tersebut dusta”
b.
Isteri menolak
tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan
dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan
kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut
benar”;
c.
Tata cara pada
huruf a dan huruf b tersebut merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal
128
Li`an
hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Pasal
129
Seorang
suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Pasal
130
Pengadilan
Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap
keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal
131
(1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud
pasal 129 dan dalam waktu
selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk
meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak
danternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun
dalamrumah tangga, pengadilan
Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya disepan sidang
Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
(4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah
terhitung sejak putusan Pengadilan
Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak
gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya Talak
rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar
talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai
kedua dan ketiga masingmasing diberikan
kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal
132
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama. Yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami
(2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua
Pengadilan Agama memberitahukan gugatan
tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal
133
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b,
dapat diajukan setelah lampau 2
(dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
(2) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali ke
rumah kediaman bersama.
Pasal
134
Gugatan
perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima
apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga
serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal
135
Gugatan
perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan
salinan putusan Pengadilan yang memutuskan
perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal
136
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut
untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat
atau tergugat, Pengadilan Agama
dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal
sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
(1) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya
melalui satu atau beberapa surat kabar atau masa media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan Agama.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu
satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat
Pasal 141
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat
gugatan perceraian
(2) Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan
tennggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat
maupun tergugat atau kuasa mereka.(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal
116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
(1) Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang
sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
(2) Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan
pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143
(1) Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum
perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya
terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap
Pasal 147
(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Pengadilan
Agama menyampaikan
salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau
kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai
salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada
masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami
dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia
pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan
tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal
surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat
pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan
Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikirimkan pula kepada Pegawai
Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi
perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada
Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1)
menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 148
(1) Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan
khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
(2) Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan
suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing.
(3) Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan
tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
(4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau
tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan
itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
(5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam
pasal 131 ayat (5)
(6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau
iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
PP No 10 Tahun 1983 Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS
Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan
melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Permintaan untuk memperoleh izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(3) Dalam surat permintaan izin perceraian
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin perceraian
itu.
PP No 45 Tahun 1990 tentang Perubahan UU No
10 Tahun 1983
Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat;
(2) Bagi Pegawai Negeri sipil yang berkedudukan sebagai penggugat
atau bagi pegawai negeri sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh
izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haru mengajukan permintaan
secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan
perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang
lengkap yang mendasarinya.
(8)
Masalah
wanita-wanita yang dicerai suaminya
UU No.1 Tahun 1974
Pasal
41
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Kompilasi
Hukum Islam
Pasal 149
Bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.
memberikan mut`ah yang layak kepada
bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut
qobla al dukhul;
b.
memberi nafkah, maskan dan kiswah
kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi
talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c.
melunasi mahar yang masih terhutang
seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d.
memeberikan biaya hadhanan untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak
melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.
Pasal 151
Bekas isteri
selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak
menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri
berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
(9)
Masalah
masa hamil dan akibat hukumnya
Hukum Kompilasi
Islam
Pasal 53
(1)
Seorang wanita hamil di luar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran
anaknya.
(3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Pasal 54
(1)
Selama seseorang masih dalam
keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak
sebagai wali nikah.
(2)
Apabila terjadi perkawinan dalam
keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak
sah.
(10)
Masalah
pemeliharaan tanggung jawab terhadap anak
UU No.1 Tahun 1974
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum didalam dan diluar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan
anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan
dalam hal-hal :
a.
la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk
sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
(11)
Masalah
hak waris bagi anak
Hukum Kompilasi
Islam
Pasal 176
Anak perempuan
bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 184
Bagi ahli waris
yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka
baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 186
Anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya.
(12)
Masalah
wasiat bagi ahli waris
Hukum
Kompilasi Islam
Pasal
194
(1)
Orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat
mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2)
Harta benda yang diwasiatkan harus
merupakan hak dari pewasiat.
(3)
Pemilikan terhadap harta benda
seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah
pewasiat meninggal dunia.
Pasal
195
(1)
Wasiat dilakukan secara lisan
dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau
dihadapan Notaris.
(2)
Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
(3)
Wasiat kepada ahli waris berlaku
bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4)
Pernyataan persetujuan pada ayat
(2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau
tertulis di hadapan dua orang saksi dihadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik
secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-siapa
atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197
(1)
Wasiat menjadi batal apabila calon
penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dihukum karena:
a.
dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat;
b.
dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan
sesuatu kejahatan
yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c.
dipersalahkan dengan kekerasan atau
ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut
atau merubah wasiat untuk
kepentingan calon penerima wasiat;
d.
dipersalahkan telah menggelapkan
atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2)
Wasiat menjadi batal apabila orang
yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.
tidak mengetahui adanya wasiat
tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya
pewasiat;
b.
mengetahui adanya wasiat tersebut,
tapi ia menolak untuk menerimanya;
c.
mengetahui adanya wasiatnya itu,
tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia
meninggal
sebelum meninggalnya pewasiat.
(3)
Wasiat menjadi batal apabila yang
diwasiatkan musnah.
Pasal 198
Wasiat yang berupa
hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan jangka
waktu tertentu.
Pasal 199
(1)
Pewasiat dapat mencabut wasiatnya
selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sesudah
menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2)
Pencabutan wasiat dapat dilakukan
secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan
disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta Notaris bila wasiat
terdahulu dibuat secara lisan.
(3)
Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya
dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan
akta Notaris.
(4)
Bila wasiat dibuat berdasarkan akta Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta Notaris.
Pasal 200
Harta wasiat yang
berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka
penerima wasiat
hanya akan menerima harta yang tersisa. Sedangkan ahli waris
ada yang tidak menyetujui, maka
wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga
harta warisnya.
Pasal
201
Apabila
wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang
tidak menyetujui,
maka
wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Pasal 202
Apabila wasiat
ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak
mencukupi,
maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan
pelaksanaannya.
Pasal 203
(1)
Apabila surat wasiat dalam keadaan
tertutup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang
membuatnya atau di tempat
lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
(2)
Bilamana suatu surat wasiat dicabut
sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah
dicabut itu diserahkan
kembali kepada pewasiat.
Pasal 204
(1)
Jika pewasiat meninggal dunia, maka
surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan
ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara
pembukaan surat wasiat itu.
(2)
Jika surat wasiat yang tertutup
disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris
setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor
Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris
atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian
selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu
perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara
dan
berada dalam daerah pertempuran atau yang berada di suatu tempat yang ada
dalam kepungan musuh,
dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang
komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua
orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada
dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan
nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di
hadapan seorang yang
menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak
diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang
dan
kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit
sehingga
meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas
jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak
berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut.
Pasal 209
(1)
Harta peninggalan anak angkat
dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di
atas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2)
Terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya.
(13)
Masalah
keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga
Kompilasi Hukum
Islam
Pasal 223
(1)
Pihak yang hendak mewakafkan dapat
menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty
Akta Ikrar Wakaf untuk
melaksanakan ikrar wakaf.
(2)
Isi dan bentuk Ikrar Wakaf
ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3)
Pelaksanaan Ikrar, demikian pula
pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan
disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4)
Dalam melaksanakan Ikrar seperti
dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan
menyerahkan kepada Pejabat
yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.
tanda bukti pemilikan harta benda;
b.
jika benda yang diwakafkan berupa
benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan
dari Kepala Desa,
yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak
bergerak dimaksud;
c.
surat atau dokumen tertulis yang
merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Pasal 225
(1)
Pada dasarnya terhadap benda yang
telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada
yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2)
Penyimpangan dari ketentuan tersebut
dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih
dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan
alasan:
a.
karena tidak sesuai lagi dengan
tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif; karena
kepentingan umum.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
PP No 45 1990 tentang Perubahan PP No 10 Tahun 1983
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
PP No 45 1990 tentang Perubahan PP No 10 Tahun 1983
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Comments